Senin, 27 November 2017

Mati

Diposting oleh Alda Putri di 23.52 0 komentar


Medan, 18 Juni 2010

Mata terbuka
Tapi tak hidup
Nadi melemah
Mungkin sekarat
Jantung terdiam
Mati, bisa jadi.

Menyayat nadi
Mati? Mungkin
Tergolek melantai
Mati? Tak tau
Bunuh diri?
Mati? Belum tentu!

Orang miskin pengen kaya
Orang kaya pengen lebih kaya
Orang mati ingin hidup
Terus, kenapa orang hidup pengen mati?

For You

Diposting oleh Alda Putri di 06.45 0 komentar
Hi..
Could I take your time just for 10 minutes?
But, firstly, would you play a music that I mentioned to you before, while you read this kinda long story? Okay, I'll remind you, the song is Bandage - Adhitia Sofyan.

Hmm..
Thank you for willing to do it. I'm so sorry because I wrote it in English. I'm preventing to make you uncomfortable. I thought that if I wrote it in Bahasa, It'll be excessively. I always postpone to write it, but I think I have to let you know something that I can't say to you and I can't wait for our anniversary day to say it -_-

Sorry, I'm just a girl with the imperfections behind me. I always make you mad with my childish nature. I always do every single thing with my own ego and It'll become a disaster. I always ruin everything that you've made before, even I always do the thing that you hate the most. I knew it, I already knew it exactly..

Maybe I can't describe how deep I love you, how often I think of you, how much I miss you, and how scared I am if I lose you. But, here I am. I'm trying to describe it through the words that I write for you. 

I love you with the way you are, i love to observe you. The way you walk, laugh, mad, eat, smile.. But my favorite is seeing the way you see me..

I'm a girl who wanna hug you for all night long, wanna kiss you until you fall asleep, and wanna see you in my every morning. I wanna wake up on your arm, and give you a morning kisses that suffocate you. I wanna make you a breakfast and prepare you to go to work. I wanna wait you until you back at dawn, night, even late night. And I really wanna be your home, the woman who knows you so well (instead of your mom :p). I'm so happy if you wanna share your story for a night, a funny, happy, even the worst problem that you ever had. I'll stay awake just for hear it from you..

Sorry, I already took you to be a part of my life, my priority. I already relied on you, didn't care how much I'm trying not to. It becomes uncontrolled time by time. Have I change it?

But, the most important thing that I wanna let you know, I always feel sad whenever I remember that you feel annoy because of my nature. Last night, I saw a post that said, "If someone loves you, he will not tell you that you need to change". I of course will change the bad one to make me become a better person. But, have I change the thing that you dislike from me? I mean, everything? Won't you try to love my bad? Even one? Once again, I'm sorry, but I didn't see that post on a purpose and becoming sad..

I just wanna say, I love all of your nature, all of your habit, even the good and bad one. Stay with your own way, just change the thing that you wanna change. Thank you for being my spirit when I feel upset, my sunshine when the day gets darker. It's you, and forever will be..

Note : It isn't a propose, so don't get touched :p
Sorry for the bad english.

Sabtu, 18 November 2017

Larut, Fajar

Diposting oleh Alda Putri di 02.30 0 komentar
Semester limaku sebentar lagi berakhir juga. Semester terberat, yang memaksaku keluar dari zona nyamanku, memaksaku menjalani hari diluar kebiasaanku. But, life must go on, Did I prove you if I'm still okay? Aku bisa kok..

Detik berubah menjadi menit, yang disambut jam, diantar hari, dan berujung ke bulan yang sudah dinanti tahun. Aku semakin pintar menemukan kebahagiaanku, memprioritaskannya dari kebahagiaan yang lain. Egois memang, tapi bukankah pemeran utamanya harus bahagia terlebih dahulu, agar sekodi plot dalam narasi dengan segala pemeran lain didalamnya ikut merasa bahagia? I have to do it, I can't wait someone to do this..

Dulu aku bahagia karena seseorang dan sekarang pun mungkin begitu. Tapi kebahagiaan ini lengkap rasanya, aku bahagia karena diriku sendiri juga. Aku seakan mendapati seorang gadis yang tengah menari di bawah langit kelabu, ditengah-tengah hamparan bunga matahari yang sesungguhnya amat ia sukai. Berkali-kali ia memasang topi besarnya, yang terjatuh karena sangking asyiknya ia berputar. Dibiarkannya juga gaun putihnya mengembang, terisi tawa yang selalu haus akan dahaga. Terkadang ia memang menangis, tapi tak berarti dia bersedih. Melihat sejauh mana ia berubah, apa gunanya bersedih??

Kini sang gadis berhenti melihat ke belakang, menolehkan kepala sambil tertawa terbahak, melihat perjalanan di depan yang tengah menantinya. Satu hal yang ia pelajari, ia siap untuk dunia baru. Hampir genap setahun lagi, ia akan keluar dari dunia sempit perkuliahan dan masuk ke dunia yang lebih luas lagi. Dulu ia terlalu ingin cepat menyelesaikan semuanya, dan di penghujung waktu ia lebih tenang dan seakan menikmati waktu yang berlalu. Ia mulai nyaman dengan suasana kota Yogyakarta yang akan selalu ia kenang dengan segala ceritanya, tapi tak berarti membuat dia memperlambat langkahnya. Ia tetap berjalan, tetapi dengan mata yang terkadang terkatup dan seulas senyum merona, seakan meresapi tiap simfoni..

Ia sekarang melakukan hal-hal yang biasa ia tak lakukan. Diawal memang sulit. Berhenti untuk bergantung kepada seseorang itu sukar, sungguh. Tapi, ia sudah melewatinya. Ia lebih mempunyai waktu untuk teman-temannya, pergaulannya, serta dirinya sendiri. Ia kembali melakukan rutinitas yang dulu sempat berhenti ia lakukan. Kini, ia sudah tak sabar menghampiri apa yang ada didepan, baik dengan senyuman dan mungkin dengan tangisan. Anak itu sudah tumbuh, anak yang mampu berteriak ditengah heningnya bisikan larut dan diam ditengah bisingnya kerumunan fajar..

Rabu, 15 November 2017

Kedap

Diposting oleh Alda Putri di 06.31 0 komentar
Salahkah?
Aku mulai terbiasa sendiri, yang sebelumnya tak mampu melewati sepekan yang kedap. Aku selalu mengisi waktuku sendiri, seakan yang lainnya hanya sebuah lelucon senja yang akan hilang di detik ketujuh. Aku menghadapi masalahku sendiri, yang dahulu selalu kutangisi tiap penghujung hari. Aku menangis dan tertawa sendiri, yang biasa kulakukan bersamamu..

Kuhiasi kamarku bak tempat ternyaman, kuputar lagu-lagu yang sudah lama tak kudengar. Lampu tidur berkedap kedip menyejukkan hati. Angin semilir dari kipas yang kunyalakan perlahan, kekiri lalu kekanan. Lusinan foto tergantung sambil berayun. Aku berdiri dengan kedua kakiku sekarang, sedikit banyak aku ternyata telah merubah pola pikirku. Akhirnya, aku melakukan rutinitas lamaku yang sudah lama terlupakan karenamu..

I'm singing in my room, yang kebanyakan berisi lagu sendu. Bukan berarti sedih, aku hanya lebih menyukai lagu yang dapat kuresapi. Aku menangis sendiri, yang aku sendiri tak tahu apa yang sedang kutangisi. Aku tertawa sambil berguling di kasur, yang akhir-akhir ini sulit kuekspresikan. Aku seperti mayat hidup, tanpamu..

Munafik rasanya jika aku berkata baik, walaupun sekarang tengah kucoba. Bukankah tak apa jika kita tenggelam sebentar di pikiran negatif kita? I mean, we're just human, we have our own negativity. Penjilat rasanya jika aku tegar, I'm just pretending. Caramu tertawa yang dibarengi mata yang berkaca-kaca, sudah lebih dari seribu kali kukatakan, aku menyukainya..

We have our own story, yang jelas berbeda dengan cerita fiksi sebelah. Disana tertulis kebiasaan kita, kesukaan kita, gelak tawa kita, tangisan kita, bahkan jeritan amarah yang sebenarnya ingin kulupakan. Tapi kali ini aku hanya ingin membahas kebahagiaan kita, yang akan menjadi usang di tumpukan rak yang berdebu..

Bocah kecil yang sangat ketergantungan akan manusia lain, kini tengah belajar berjalan walaupun tertatih. Satu, dua, tiga langkah, dan terjatuh. Empat, lima, terjatuh lagi. Lututku tergores, memerah karena aspal yang kian melebur. Ku elap saja darah itu, karena tak ada gunanya jika aku menunggu seseorang menggendongku dan mengobatinya dibawah pohon yang rindang. Kubiarkan dia membengkak, berharap esok akan membaik dengan sendirinya. Mati rasa ini, kebal..

Kita berjalan berjauhan, yang semula beriringan. Kita menceritakan narasi pendek, yang kita tahu betul itu akan menoreh lebam. Kita menangis, menangisi hal yang kita tahu akhirnya bagaimana. Kita saling menatap dalam, seakan tahu bahwa kita tak akan lagi saling memandang dengan cara yang sama. Dan kita akhirnya saling berjalan menjauhi, memunggungi khalayak ramai sambil menunduk, menangis..

Sabtu, 11 November 2017

Bandung

Diposting oleh Alda Putri di 11.22 0 komentar
Kubuka mata dan kupandangi dalam-dalam lampu kamarku yang meredup lalu menyala. Tepat jam 00.43 hari minggu kedua di bulan November, hujan turun dengan derasnya. Lagu Muara yang dinyanyikan Adera tengah mengalun sekarang. Aku terbawa suasana, suasana Bandung 2 bulan yang lalu..

Dengan senyum sumringah pagi hari itu, aku bergegas berangkat ke Stasiun Lenteng Agung. Kita sepakat untuk bertemu disana setelah perdebatan yang tak bisa kubantah. Aku masih mengingat dengan jelas bahwa kita janjian untuk bertemu dibawah peron Jakarta Kota. Kamu inget gak kalau kamu salah masuk gerbong kereta kala itu (masuk gerbong khusus perempuan nih yee)?? Perjalanan Lenteng Agung - Juanda terasa amat singkat karena kita tertawa sepanjang perjalanan, pastinya sambil berdiri di gerbong campuran. 

Setibanya di Juanda, kita pun melanjutkan perjalanan ke Stasiun Gambir. Aku agak lupa berapa lama perjalanan yang kita tempuh kemarin, yang aku ingat saat itu hanyalah perasaanku yang ikut tertawa bersama kita. Aku hanya ingat bahwa saat itu aku rela berlama-lama di dalam kereta hanya untuk melihat caramu membuatku tersenyum, walau terkadang gagal. Kita sempat mau menonton film dari HOOQ, tapi signal seakan bersekongkol untuk membiarkan kita larut dalam perjalanan tanpa sibuk memecah konsentrasi ke hal selain kita berdua. Kita bertukar cerita sambil memakan roti yang kita beli sesaat sebelum naik ke kereta, sampai-sampai tak sadar kita pun beberapa kali tertidur selama perjalanan. Aku masih ingat bagaimana nyamannya aku tertidur dibahumu. Kepalamu yang juga bersandar di atas kepalaku, bahkan tak mengurangi nyamannya didekatmu. Waktu berlalu, lantas kita akhirnya tiba di Stasiun Bandung tepat waktu di hari menjelang sore.

Bandung macet. Kita sampai ke tempat tujuan terlampau sore, dengan perut yang hanya terganjal oleh roti tadi. Untungnya, kita hanya perlu menyebrang untuk makan siang yang agak kepepet sore itu. Aku terbiasa memperhatikan kebiasaanmu, yang sungguh amat kusukai. Bagaimana caramu makan dan apa yang kau lakukan setelah selesai makan, semua itu kuperhatikan betul. Mungkin sederhana buatmu, tapi aku yakin hal tersebut amat membantu mas-mas/mbak-mbak yang bekerja disana haha. Tetap menjadi kamu yang seperti ini ya..

Setelah meletakkan barang bawaan dan membersihkan diri, malam itu kita memutuskan untuk bergegas ke Jalan Braga. Kamu menggenggam tanganku sepanjang jalan yang memang ramai kala itu. Tak heran, malam kemarin adalah malam minggu. Satu hal yang baru kuketahui dari dirimu dan mungkin sanggup kulengkapi, kamu pelupa. Bisa-bisanya kamu membawa kamera tanpa membawa battnya. Berkali-kali juga kamu membuatku hampir terkena serangan jantung karena kamu lupa meletakkan barang-barang penting, contohnya saja telepon genggammu yang hampir hilang di jam-jam pertama sesampainya kita di Bandung. Malam itu berlalu begitu saja, tanpa bisa kita perlambat.

Paginya, aku terbangun lebih lama dibanding dengan wacana. Kita memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke gedung sate, lalu ke alun-alun bandung, tak jauh dari taman yang kamu sebut sebagai Taman COC (?). Lagi-lagi kamu menggenggam tanganku erat sepanjang perjalanan dan lagi-lagi juga aku mulai menyukai kebisaanmu yang lain. Kamu sibuk mengambil berbagai foto disana. Kita sempat tertawa bersama karena ekspresi anak perempuan yang tertangkap kamera saat ia naik andong, sungguh menggelitik memang. Kupat tahu, jus mangga, dan jajanan lain yang aku lupa namanya pun kita cicipi satu persatu. Setelah mengambil beberapa gambar tsubasa di Taman COC-mu dan ditegur bapak yang mungkin bekerja untuk menjaga taman itu, kitapun bergegas kembali untuk mengambil koper dan tas, yang selanjutnya menuju ke Stasiun Bandung. Masih sempat-sempatnya kita menyinggahi jajanan khas bandung yang memang sedari dulu aku inginkan.

Perjalanan pulang berlalu begitu saja. Kita tak bersebelahan saat itu, jahatnya kamu membiarkan aku duduk disebelah laki-laki lain. Haha, bercanda kok. Kita sempat-sempatnya makan di dalam kereta dan tertidur di kursi masing-masing. Seingatku, kita sampai di gambir agak melewati dari waktu yang ditentukan. Mau tidak mau, kita langsung bergegas ke Bandara Soekarno-Hatta saat itu juga. Hujan mengantar kita selama perjalanan. Saat itu, berulang kali aku memandangi punggungmu yang berjalan didepanku. Berkali-kali kutampar perasaanku yang belum percaya. Belum percaya bahwa lelaki yang tengah berjalan itu adalah lelakiku. Kubiarkan saja diriku memandangimu dari belakang tanpa mengerjap, yang pasti tak kamu sadari.

Setibanya di Bandara, kamu memintaku untuk duduk bersamamu satu jam kedepan sembari menunggu hujan agak reda. Akupun menyanggupinya karena memang keberangkatanku masih sekitar 2 jam lagi. Kita lagi-lagi tertawa disana, saling berpandangan seakan tahu setelah ini jarak akan memenangkan persaingan. Cerita-cerita kita akhirnya berujung di menit ke 60. Kamu akhirnya mengantarku sampai ke depan pintu masuk untuk check in. Kali ini, aku menyukai kebiasaan baru kita. Aku menyalami tanganmu, hal yang belum pernah kudapatkan sebelumnya. Hal ini memang akhirnya selalu kita lakukan sekarang. Maka hari itu, genap rasanya bahwa aku telah menitipkan kamu dan cerita kita dengan sang jarak, yang kuharap mampu terkikis habis detik demi detik, oleh sang waktu.

Mungkin aku belum mengucapkan ini, tapi terima kasih ya sudah mau repot-repot pagi itu berangkat dari Tangerang ke Lenteng Agung yang jaraknya bukanlah dekat.
Terima kasih sudah bersikap manis selama perjalanan. 
Terima kasih untuk selalu menggenggam tanganku.
Terima kasih karena selalu mengusap kepalaku disaat aku kesal.
Terima kasih karena sudah membiarkan bahumu lelah menopang kepalaku yang memanglah berat haha.
Terima kasih telah hadir mengisi senyumku.
Dan,
Terima kasih telah lahir dan menemukanku.


Keep the little sweet things which we’ve done before. Don’t let time makes you forget it, because I believe it’s the only thing that can make you feel don’t wanna lose our story..

Jumat, 03 November 2017

Elsa Kopf - If

Diposting oleh Alda Putri di 21.17 0 komentar

If I just stay here, while the sun sets.
If your frozen heart, could see me in the dark.
If I’m still feeling blue, as you sometimes do.
Would you say to me that I was in your heart all along?

If you find me here someday, I always was a dreamer, wished for a rose in December.
If you remember my voice, my promise, I will sing with a bluebird, kiss the rain the bird.
If you’re coming closer, like a mellow dream.

A little little bit of love
in my seventeen so sweet.
A little little bit of tears in my lonely heart.
Once again longing for a breeze for a rose and kisses, for a little bit of you.
When you appear in my own dream in the twilight.
Please tell me of your eyes of your lies..

When you appear in my dream, come find me down in the deep blue sea.
Come figure me out in this sweet melody of the rain.
If you want me for real, I always was a dreamer, wished for a rose in December.
If you remember my voice, my promise, I will sing with a bluebird, kiss the rain the bird.
If you’re coming closer, like a mellow dream.

A little little bit of love in my seventeen so sweet.
A little little bit of tears in my lonely heart.
Once again longing for a breeze for a rose and kisses, for a little bit of you..

If a little little bit of love is waiting for
Why don’t you come a little closer here if you’re ready for?
In my heart now I see a girl dancing all day in the rain, singing for a fallen star..

Kamis, 02 November 2017

Redup

Diposting oleh Alda Putri di 08.26 0 komentar

Senja di hari rabu ini cukup menarik. Langit jingga dengan awan yang merongrong keatas, bergerak perlahan. Kelasku baru saja berakhir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Halaman kampus sudah jauh dari kata sibuk, seakan ikut memudar bersama mentari. Sepi sekali kala itu, tetapi tak satupun celah payung gazebo yang terlewat akan jamahan suasana sore yang kian memerah, merekah ditelan bulan. Aku dan temanku memutuskan untuk mengisi menu makan malam kami dengan sepiring sate, tentu saja dengan nasi disampingnya nyehehe. Tempat makan yang kami pilih tak jauh dari gerbang belakang kampus, searah dengan kost ku..

Aku terdiam disana, kalaupun aku bersuara, aku lebih memilih tertawa. Sembari menunggu makanan yang kami pesan datang, kami berdua sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin dia tahu, jadi dia lebih memilih terdiam. Kurenungi setiap pejalan kaki yang sibuk menyeret tubuhnya di setapak jalan demangan itu, kuperhatikan betul setiap kendaraan yang berlalu lalang, dan satu persatu murid sekolah dasar pun pulang dengan sumringah. Aku ingat betul bahwa aku menutup mataku, cukup lama. Kubiarkan diriku larut dalam rasa sesak yang sedang kubendung, yang bisa kapan saja tumpah berserakan, merusak apa saja yang ada didekatnya..

Air mata ini kering, terkuras emosi yang meringsut kasar, kusut. Ingin rasanya aku memutar waktu, menemui diriku 30 jam sebelum hari ini, melarang mata yang penuh keingintahuan itu untuk melihat pesan yang menghancurkan hariku waktu itu. Pesan yang membawa rasa kecewa yang sangat kuat menancap. Demi apapun, bahkan aku sendiri tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku menangis memang, tapi tak menangis karena apa yang kita berdua ketahui. Aku menangis karena kecewa, ya kecewa. Aku menangis karena aku merasa sendiri sekarang, sendiri menangisimu yang terlampau jauh kuraih. Kau nyata, tapi memabukkan..

Aku, bahkan aku sendiri bingung. Bingung bagaimana cara menyikapinya, bingung cara mengekspresikannya, bingung cara menjawabnya. Aku tak dapat menjanjikan apa-apa sekarang, terlalu piawai rasa ini menamparku, jatuh terpelanting, terseok-seok dengan kaki yang hancur. Bagaimana bisa aku menemuimu, yang mungkin aku tak akan sanggup untuk menatap matamu? Aku takut kau mengetahui kekosonganku, lalu tertawa karena sukses dengan narasimu. Aku takut kau tahu, mengetahui seberapa berartinya dirimu untukku..

Makanan dipiringku pun habis kulahap, kumakan tanpa emosi. Berulang kali temanku ini menanyakan keadaanku, dan berulang kali juga kujawab tak apa. Aku menemaninya ke BRI, yang kebetulan ada di Circle K, tak jauh dari kost. Sembari membuka gembok, kamipun berbicara sepatah duapatah kata. Kututup pintu itu kembali, dan kamipun berpisah. Mengucapkan kata selamat istirahat sudah menjadi kebiasaan kami sebelum tenggelam di kamar masing-masing..

Kamarku berantakan, tak seperti biasanya. Aku merebahkan tubuhku yang cukup letih, dengan kepala yang kubenamkan ke tumpukan bantal. Kembali kudengar suaramu, yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Akupun membaca ulang percakapan kalian, yang aku tahu akan merobek lagi luka yang mungkin mulai membaik. Kubiarkan hatiku merasakan sakit, sakit yang paling sakit. Kubiarkan pikiranku dipenuhi rasa kecewa, agar aku tak bodoh untuk selemah ini lagi. Kubiarkan air mata ini jatuh lagi, agar esok mata ini mati rasa jika dipaksa menangis lagi. Kubiarkan aku jatuh ke dalam perasaan ini lagi, sengaja..

Hatiku hancur, bahkan perekat tak sanggup lagi menyatukannya. Kuhapus air mataku, waktu bersedih sudah usai. Kutelan rasa pahit ini, karena untuk kesekian kalinya air mataku jatuh tanpa ada yang mengusapnya. Kupaksa badanku berdiri, merapihkan kamarku dan bergegas mandi. Sengaja kuberlama-lama di kamar mandi, berharap semua perasaan luruh dengan guyuran air dingin yang menyumbat nadi..

Aku kembali ke kamar. Setelah menyeduh coklat panas dan menghabiskannya, kumatikan lampu dikamar dan merebahkan badan. Kuputar lagu yang akhir-akhir ini sering kudengar. Perasaanku mulai membaik, yang kutahu esok akan hancur lagi. Mungkin aku akan terbiasa, terbiasa memainkan peran diatas pentas kita yang redup.

Rabu, 01 November 2017

Scumbag

Diposting oleh Alda Putri di 07.18 0 komentar

Every grace has been ruined, because she neglects her happiness and let the bastard grasps her soul, sucks her vein, and forgets about the boundaries. Jerk is always being a scumbag, because she drowns herself into a shallow lake. Unpararelled..

In the end, she soaks the bitterness with her tears, entrust it courteously. She forces herself to forget about the milestone, meddling it with her fond. She is waiting for someone to let the hassle relieve her forecast. Cynic, but he kidnapped her, being a hostage. She is blowing her whistle, full of rages. And when she pretend to believe, the truth will tell her to always being query. Sophisticate..

Jumat, 27 Oktober 2017

Petala

Diposting oleh Alda Putri di 05.45 0 komentar

Cakrawala terhiasi bintang, seratus seribu, mungkin. Semarak mendermakan keindahan, menjadikan kegelapan sejenak temaram. Suasana merupa gulungan cerita, buramnya film lawas. Dinikmati tiap pasang mata telanjang, bersepi air yang luruh darisana. Kini, hanya sasmita yang mampu terhenyuh..

Relung meremuk terjarah kabut, mirat menggenang di tiap petala. Metafora seakan meyakinkan, yang sebenarnya hanya kesemuan belaka. Derai hujan berlomba terjun, berserak menjadi lumpur. Buramnya kelopak mata, berlelah suara berisik memekakkan daun telinga. Peraduannya rusuh, tumpah ruah kesana kemari, tak tentu rimba. Tapi semua itu tak menjejakkanmu disini, ditempatku menapakkan alas kaki..

Rabu, 25 Oktober 2017

Alur

Diposting oleh Alda Putri di 05.20 0 komentar

Mereka berteriak, padahal tak sakit
Begitupun tertawa, padahal tak lucu
Menangis, padahal tak sedih
Bercerita, padahal tak perlu

Aku disini, berdiri
Mengusap pilu sendiri
Yang tertutup senyuman berseri
Sambil meringis menahan perih

Aku menunggu untuk dunia baru
Tentu saja dengan suasana dan orang lugu
Yang sepekan terasa rapuh
Dibasuh abu yang kian berdebu

Kupaksa terus jari ini menulis
Coretan bodoh yang justru puitis
Menemani sendiriku yang tragis
Seperti cinta yang tak tersentuh magis

Bolehkah aku berharap sekali
Menerawang hidupku yang terisi ragamu
Menatap nanar semua pesanmu
Dan pasrah terbawa alur duniamu?

Minggu, 22 Oktober 2017

Pagi

Diposting oleh Alda Putri di 00.52 0 komentar

Coklat panas di pagi hari manis memang, tapi tak semanis ucapan selamat pagimu. Pagi ini terulas senyum yang merekah sempurna di wajahku, mengingat caramu mengisiku di sabtu malam yang datang dengan segelintir hal menyebalkan dibelakangnya. Aku tak butuh frasa yang rumit, aku juga tak perlu pemikiran yang katanya menarik konfrontasi. Usahamu mengerti sifat labilku benar-benar menjadi penarik mentari kala itu. Kita memang jauh, diluar sana memang tak sedikit yang menyepelekan kita, tapi aku paham benar perasaanku. Kali ini, aku menjalani sebuah hubungan dengan caraku. Aku tak ketakutan bagaimana kau disana, aku juga tak gampang berpikiran buruk dikala kau bepergian. Jauh memang, tapi terasa melekat. Semoga dengan melewati batu krikil ini, kita juga mampu melewati batu besar dengan air kita yang mengalir deras. Karena batu besar itu akan merapuh kalau kita kiat menghujaninya, walaupun dengan air yang tak kalah rapuh juga.

Kamis, 19 Oktober 2017

Siapa?

Diposting oleh Alda Putri di 10.16 0 komentar

Berkali-kali aku merenung, berkali-kali aku terdiam, dan berkali-kali juga aku bertanya pada diriku sendiri. Apa aku mengenalmu? Siapa kamu? Darimana asalmu? Bagaimana kehidupanmu? Apa kesukaanmu? Apa kebiasaanmu? Siapa yang ada dipikiranmu? Dan hasilnya, nihil. Tak peduli seberapa keras aku mengorek seluruh isi kepala, tak acuh sekuat apa aku menimba air dengan ember yang bocor, aku tetap tak menemukan jawabannya..

Aku ibarat dedaunan kering yang jatuh tanpa tahu kemana ia mendarat. Aku seperti anak kecil yang mengejar balon yang terbang 15 kaki dari udara. Aku seperti kompas yang selalu menunjuk ke arah barat laut. Aku belum menyadari bahwa disini aku terlalu banyak berbicara. Begitu aku sadar bahwa aku tak tahu apapun tentangmu, aku tersentak dan berhenti. Siapa kamu???

Aku belum menemukan alur kita, aku masih terkatung-katung dalam plot cerita barumu, aku tak kunjung mengenali latar tempat yang kian mengaburkan ingatanku. Aku memang merasa seperti orang yang paling mengenalmu saat kamu didekatku, dan saat kau pergi, aku baru sadar kalau tak ada yang kupegang darimu...

Ditinggalkan adalah hal kedua yang kubenci setelah menerka-nerka. Semua yang kamu tinggalkan disini, seperti berputar kembali saat aku melewatinya. Ya, kali ini memang berputar, tapi tanpamu. Cerita tanpa tokoh utama, kamu tahu kan artinya???

Kamu orang pertama yang tak bisa kutebak, yang misterius betul. Semua ucapanmu, kemauanmu, dan tingkah lakumu, semua diluar kendaliku. Lagi-lagi aku merenung, memang kamu semisterius itu kah? Atau hanya aku saja yang memang belum mengenalmu? Bahkan mungkin aku saja yang terburu-buru menghamburkan beribu pelukan,  yang sebenarnya hanya sebuah hologram, dan suatu saat akan hilang ketika koinnya bergerak??

Sekarang aku ajukan pertanyaan untukmu. Apakah kamu mengenalku? Siapa aku? Darimana asalku? Bagaimana keadaanku? Apa kesukaanku? Apa kebiasaanku? Bagaimana kehidupanku disini, tanpamu? Apa aku baik-baik saja? Apakah kamu sudah menjawabnya? Atau sama sepertiku, terdiam mematung seakan mencari jawaban dalam gang sempit yang buntu?

Selasa, 10 Oktober 2017

Tuesday

Diposting oleh Alda Putri di 04.58 0 komentar

Selasa ini mungkin akan menjadi selasa terlelah dari hari yang lainnya. Kurebahkan badanku yang baru saja selesai mandi, mematikan lampu kamar sembari menyalakan sebuah lagu dengan pengaturan repeat, dan berencana menceritakan hariku disini...

Kumulai detik pertama di hari selasaku ini dengan mata mengantuk. Berkali-kali ia terpaksa mengatup, tak kuat menahan kantuk yang kupaksa menunggu. Aku harus belajar agak keras subuh ini karena 2 MK menungguku pagi nanti. MK Hukum Pidana di Luar Kodifikasi dan Hukum Harta Kekayaan sukses menculik perhatianku, raib tak tahu kemana. Rasa iri itu ada, iri kepada mereka yang dengan gampangnya mendapatkan nilai sempurna, sementara aku harus berusaha lebih keras untuk itu. Yaaa, setiap orang mempunyai porsi masing-masing, tinggal kita dengan bijak mau menggunakannya atau tidak, kan? Maka kulanjutkan subuhku dengan segelintir paper bahan perkuliahan dan buku tebal yang berisi coretan tanganku yang nyaris tak terbaca lagi..

Oh iya, sabtu lalu aku memutuskan untuk pindah kost. Pertimbangan yang cukup gampang untuk diputuskan. Kost baruku berjarak jauh lebih dekat dari kampus, hanya membutuhkan 1-2 menit jalan kaki. Aku juga sudah terlanjur nyaman dengan suasana kostnya, kamar mandi luar tapi menurutku lumayan bersih. Kamarnya juga membuatku betah berlama-lama di rumah keduaku ini. Sepertinya aku tak akan pindah sampai kelulusanku nanti..

Sekitar pukul 07.30 pagi akupun bergegas ke kampus, aku sudah membuat janji dengan Bella dan Wawan untuk membahas bahan Pidkof setengah jam sebelum ujian. Kampus masih sepi kala itu, langsung terlihat olehku mereka berdua yang tengah duduk di gazebo yang dengan sibuknya membuka lembar tiap lembar paper perkuliahan. Kuhampiri mereka dan ikut larut dalam percakapan. Tak lama setelah itu, gita pun ikut bergabung. Ya, kami memang sekelompok untuk MK pidkof ini..

Ujian pun berjalan sebagaimana mestinya, seperti biasa aku tak bisa menulis jawaban dengan singkat. Aku lagi-lagi meminta kertas tambahan untuk jawabanku. Pengawas ujianku hari ini sama seperti pengawas kemarin. Hmmm aku melupakan namanya, tapi aku tahu kalau dia itu ketua BEM FH di kampusku. Kurasa kakak itu sudah bosan melihatku, Claudia, dan Bella menjadi tamu terakhir di tiap ujian..

Akupun bergegas kembali ke kost, sebelumnya kusempatkan singgah ke Olive. Pagi ini aku tak punya pilihan selain mengisi makan siangku dengan ayam goreng. Setelah itu, akupun pulang dan melanjutkan perang dunia keduaku, HHK..

HHK pun sudah kulewati, dengan proses yang menurutku agak kacau. Aku salah 2 dari 10 soal yang belum tentu benar juga. Ya Gusti, nyesel rasanya belajar kepepet gini haha. Mungkin setelah ini aku harus mulai menyicil bahan UAS demi kelancaran kami bersama..

Setelah selesai HHK, akupun menghampiri stand Oikumene, lembaga perhimpunan mahasiswa kristen protestan di kampusku. Mereka akan mengadakan semacam retreat awal bulan november nanti. Aku sempat bercengkrama dengan mereka. Kebetulan 2 diantaranya adalah temanku dalam kepanitiaan Sekolah Integritas lalu, Sella dan Hendry, mahasiswa teknik industri 2015. Disana aku berkenalan dengan teman baru, namanya yusak, mahasiswa teknik industri 2015 juga. Kami ber enam memutuskan untuk makan bareng di warung sebelah kampus, dua diantaranya adalah Bella dan Yohanna yang juga mahasiswa hukum seangkatanku. Tak lupa kami mengambil foto untuk dikirimkan ke mamanya Bella. Obrolan pun berlanjut sampai semua dari kami menyelesaikan makan malam kami yang agak 'nanggung' itu. Aku pulang ke kost dengan Hendry, karena awalnya kukira Sella akan mengantar Yohanna balik. Ternyata Yohanna pulang dengan Yusak dan Sella pulang sendirian. Disamping itu Bella pulang jalan kaki karena dia memang belum diperbolehkan oleh orang tuanya untuk dibonceng naik sepeda motor..

Kurebahkan badan dengan betis berdenyut ini di kasurku. Rasa kantuk pun datang, tetapi langsung kutepis mengingat aku belum membersihkan diri. Maka tak lama dari itu, aku menyeret badanku untuk mandi dan kembali merebahkan badan seperti sekarang..

Hari ini, selasa spesial kita berdua. Tapi tampaknya sesuatu hal tak bisa berdamai dengan kita. Ada masalah dengan handphonemu yang kini tak mampu lagi menyala. Sabar ya sayang, jangan badmood terus karena handphone juhut itu haha. Aku mulai terbiasa untuk tak selalu merengek meminta kabarmu, karena aku sadar aku harus tumbuh dewasa sekarang. Bukan waktunya untuk merengek mengemis kabar seperti Ayuk yang dulu. Disana kamu sibuk menata masa depanmu, dan disini akupun begitu. Tetap semangat ya, dan jangan lupa bawa setiap kegiatanmu dalam doa..

Dariku, untukmu yang gak jauh-jauh amat..

Selasa, 26 September 2017

Cliche

Diposting oleh Alda Putri di 17.51 0 komentar

Hari ini hujan tak kunjung menetes. Awan yang mengaburkan pandangan tak mampu menurunkannya. Pagi ini, pagi sendu di kota Yogyakarta yang menyimpan ceritaku...

Aku terbangun dengan perasaan kosong, menatap nanar layar handphone yang seakan tahu aku merindukan dirimu. Hari ini ada ucapan selamat pagi, setelah itu kata maaf, lalu ocehan menyebalkanmu yang terkadang kupandangi lagi esoknya. Mungkin terdengar klise, tapi hal itu semua mampu menciptakan hariku, hari ini.

Aku mengerjap beberapa kali, menguap sedalam-dalamnya, seraya membentangkan lebar kedua tanganku. Pagi ini seperti pagi kemarin, aku memulai hari tentu saja tanpamu. Aku berdiri dan menjalani hari dengan caraku. Hufh, aku tidak boleh mengeluh, kan? Yang aku tahu, setiap orang mempunyai kesendiriannya masing-masing. Semua tergantung cara kita menjalaninya kan, sayang?

Kulirik jam sekilas, hampir saja aku lupa untuk pergi mengerjakan rutinitasku sebagai mahasiswa. Selasa ini memang akan menjadi hari libur untuk satu semester kedepan, tetapi pekerjaan kelompok tak sejinak itu hari ini. Tepat jam 13.00 aku harus berangkat ke cafe yang kami sepakati sebagai tempat kami bertemu.

Sebelum berangkat, masih sempat-sempatnya kita bertukar pesan pendek yang mampu mencubit rindu. Walaupun hari ini kau tampak sibuk, usahamu menyempatkan untuk berbagi kabar mampu memancing matahari keluar sedikit siang ini. Semuanya pun berjalan sebagaimana mestinya, terlalu normal. Membosankan.

Setelah selesai mengerjakan tugas kelompok, aku dan teman-teman yang lain masih sempat bermain stacko. Sejenak meregangkan tengkuk kepala yang berputar-putar dengan liarnya. Kami tertawa disana, tetapi waktu terlalu cepat usai, aku berjalan setapak demi setapak menyusuri jalanan di bawah langit Jogja yang meredup. Aku menghirup napas dalam-dalam beberapa kali. Tercium olehku harum tanah basah, sudah mau hujan ternyata.

Akupun berjalan agak cepat setelah temanku yang tinggal satu gang berbeda denganku sampai. Setibanya, pintupun terbuka dan langsung aku bergegas untuk membersihkan diri. Aku merebahkan tubuh letihku. Seletih-letihnya diriku, masih lebih letih kamu kan, sayang? Haha, aku kembali mengingatmu dalam sepiku.

Aku pasrah saja saat kamu tak bisa mengabariku, tapi ternyata Tuhan tak sekejam itu. Bahkan malam itu, aku mendengar suaramu sebentar, 32 menit kritis yang mampu mengenyahkan rinduku sekejap. Disini aku belajar untuk sangat menghargai tiap detik waktuku bersamamu, untuk selalu meminimalisir egoku saat disampingmu. Satu tahun empat bulan agaknya cukup untuk memantaskan diri ini jika disandingkan denganmu. Satu tahun empat bulan ini mungkin bisa mengasah ego dan kedewasaanku. Sabar ya, kaki ini belum terlalu letih untuk berlari mengejarmu kok.

Minggu, 24 September 2017

Adelaide Sky

Diposting oleh Alda Putri di 09.16 0 komentar

Ketika sedih, ada saja alasanku menulis sejuta kalimat yang menggaruk pilu, yang mampu mendermakan nestapa di setiap hurufnya. Setiap ketukan rapuh di sudut pintu, hembusan angin semilir yang mematahkan ranting kayu, asap yang mengepul di kala bibir ini hendak berbisik, semua seakan berandil dalam sesaknya paru-paru yang hendak menceritakan kisahku.

Aku seakan berdiri, diperempatan sepi dengan asap yang bergelora. Aku seakan berpijak, di tanah yang terlalu gembur sampai-sampai mampu menelan tali sepatuku yang tak terikat. Aku seakan disini, tapi nyatanya aku tak bisa disisimu. Aku, kamu, sekiranya ada, namun terasa tiada.

Aku tertohok ujung besi yang memerah, mendidih dibakar birunya api. Aku seperti balita yang baru berjalan di tanah datar, lalu terjatuh. Aku masih tak mengerti alur mana yang kau tarik, aku masih tak memahami latar mana yang kau catat. Aku masih mengerjap sesekali, masih menyelaraskan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam lingkar retinaku. Tapi aku berusaha, berusaha tak membantu menutupi cahaya yang menyeruak dengan kelima jemariku.

Aku terduduk, di ujung tebing yang landai namun berbatu. Duduk menggantungkan kedua kaki yang tak beralas apapun. Menatap langit yang semakin hari semakin kehilangan cahayanya, meredup karena sang bintang tak kunjung sampai ke tempatnya biasa menari.

Lampu jalanpun sekarang bergantian, meredup menyala, berlomba mencari muka. Mencoba menaklukkan sang langit yang kosong mencari mangsa. Tapi si kecil bintang masih tengah berlari, berlari di tengah gugusan asteroid yang siap berubah menjadi komet kapanpun ia menyentuhnya. Terlalu gelap disini, terlalu banyak penghalang di sekitar kita.

Lalu sang bintang berhenti, celingak celinguk membuang pandangan. Langit tak seperti dulu, semuanya berubah. Seperti salah alamat, tetapi nyata. Iapun bertanya, kesana kemari, menanyai hal yang sama kepada setiap mereka yang melalang buana. Tetap saja bintang tak menemukan langitnya, langitnya berubah menjadi kemarau yang membuatnya pangling.

Maka, langitpun keluar dari persembunyiannya, merasa sepi karna tak ada lagi yang mencarinya dengan gelisah. Dalam diam ia menggigit bibir, melepaskan pandangan mencari bintangnya. Tetapi apa? Ia menemukan bulan, yang ia jadikan pelampiasan dan kini tak ia hiraukan lagi. Dilemparkannya saja bulan itu, yang tak mengerti apa-apa, tersungkur di lantai yang tak bertepi, menjauh tanpa kendali.

Langit berlari, mengitari sang jagat yang tak sekecil bima sakti. Mencari bintang miliknya diantara bintang milik orang lain. Sudah tergambar dalam benaknya segala upaya untuk menarik bintang kembali. Cara itu biasanya bisa meluluhkan hati bintang. Maka, diputarinya bima sakti untuk ke sembilan kalinya. Hasilnya nihil.

Bintang yang ia kira mempermainkan dirinya, ternyata dulu tengah berjuang memantaskan diri. Dengan ego, dia hadirkan bulan yang dengan seluruh nadinya siap berkorban untuk langit, sang cakrawala. Bersedia menjadi gerhana, bahkan sabit. Tapi jika memang bukan tempatnya, apa bisa ia memaksa bulan untuk tinggal? Sementara bintang kecilnya sudah pergi menjauh, bintang yang tak akan dia temukan lagi..

Rabu, 20 September 2017

Esok (?)

Diposting oleh Alda Putri di 06.37 0 komentar

Cerita kita dimulai disini, yang mungkin diawali senyum merona dalam untaian sajak. Aku mungkin tertipu karena senyumanmu, yang selalu kurindukan di tiap malamnya. Kuhitung setiap bintang yang bersembunyi di balik awan, mencari celah untuk bertanya kepada dirimu yang aku sendiri pun tak tahu dimana. Kuhirup udara malam ini dalam-dalam, berharap mampu mengisi sedikit lorong kelam yang tuli karena jeritanku sendiri, mengucapkan kata rindu ribuan kali tanpa henti. Lidah ini tak kunjung kelu karena bergumam, kaki ini tak kunjung mati rasa karena berlutut, bahkan rasa bosanku pun tak berani membantah karena sering meringkuk. Aku beringsut sedetik, untuk melangkah semenit. Aku meraba semenit, untuk menunggu sejam. Aku tertidur sejam, untuk bertemu denganmu esok. Esok, yang ketika hari berganti, sang Esok tetaplah akan menjadi sebuah esok.

Senin, 13 Maret 2017

The Captain for Our Tiny Boat

Diposting oleh Alda Putri di 10.05 0 komentar
Malam ini, kuluangkan sedikit waktuku untuk menuliskan cerita tentang dirimu. Mungkin cerita senduku sudah memenuhi kotak posmu. Mungkin juga derai air mataku tak bisa lagi kau bendung seperti dulu. Maaf ya, aku ternyata hanya tempat pemberhentianmu sementara. Maaf juga jika jemariku tak kuat menahan deru angin yang sedemikian kuatnya.
Kini semuanya baik-baik saja, tetapi mengapa hatiku terus menerus meneriaki namamu? Mengapa air mataku menetes dengan lantang tanpa kendali? Mengapa seperti ada gaungan yang menyuruhku mundur darimu? Apakah boleh aku menepis itu semua? Apakah boleh aku pura-pura tak tahu dan kembali memainkan peranku di pentas kita?
Aku tak tahu kemana kita bermuara. Aku juga tak tahu apa maksudmu menarikku sedemikian jauhnya. Perasaanmu terlalu pudar untuk terlihat di teropongku, apa memang rasa sayangmu sudah berubah menjadi belas kasihan?
Tak perlu berpikir sedemikian keras, tulisan ini hanya tumpahan air mataku yang tak sempat keluar. Inilah aku, hanya bisa menuangkan jeritan dalam tulisan. Apa yang harus kulakukan agar aku percaya padamu?
Aku tak suka menyerah, aku pun tak suka berhenti. Akan tetapi, apalah daya jika kaki ini tak kuasa menarik goresan cerita kita? Apa kuasaku jika jembatan terhenti tanpa mampu menyelesaikan bait terakhirnya?
Aku sadar, kau tak seperhatian itu sampai kau melihat tulisan ini. Kau tak sepeka itu sampai kau memperhatikan apa yang selalu kulakukan saat aku terdiam. Mungkin saja kau baru akan membacanya disaat kita tak lagi berlomba untuk menggambar jingganya elegi di sekitar mentari. Mungkin saja kau menyadari tulisan ini, disaat pelangi tak lagi seindah sekarang.
Aku bukanlah perempuan yang selantang dalam pikiranmu. Aku tetap menangis untuk hal sepele. Sudahlah, jangan kau hiraukan derasnya air mataku. Anggap saja ini caraku berkomunikasi denganmu. Aku mencoba, mencoba mengukir cerita kita seindah cerita di dalam novel-novel favoritku. Akan tetapi, kamu pasti tahu kan kalau mobil takkan bisa berjalan jika kehilangan salah satu rodanya? Kamu pasti tahu kan besar cinta sang bulan terhadap matahari sampai ia rela memudar? Kamu pasti tahu kan kalau dayungan yang berbeda arah itu membuat sampan kecil kita tak bergerak kemana-mana?

Minggu, 29 Januari 2017

Good Evening London! (2)

Diposting oleh Alda Putri di 05.34 0 komentar
Cerita lama memang sudah berganti dengan cerita baru. Takkan ada lagi cerita telenovela, takkan ada lagi cerita melankolis. Kehidupan baru dimulai tanpa satupun kata pengantar, bahkan untuk bersuara saja tenggorokan ini terasa kering dan mengeras. Air mata pun terjatuh tanpa alasan, seakan hanya simbolis keberanian baru yang menyeruak masuk ke dalam mimpi. Semuanya pun kutinggalkan. Tanpa tersisa.

Deritan aspalpun kian mengikuti kemana arah membawaku. Setiap langkahnya seakan memiliki efek magis terhadap kakiku. Langkah keduaku lebih tegar daripada langkah pertamaku. Langkah ketigaku lebih lantang daripada langkah keduaku. Sesekali aku pun mengerjap dan melihat sekitar, seakan masih tak percaya tentang apa yang baru kuputuskan, seakan aku masih bermimpi tentang perjalananku belasan jam untuk sampai kesini.

London, hampir tak ada bedanya dengan Jakarta. Sesekali aku harus terhenti karena terlalu banyak orang berlalu lalang. Seketika aku pun berpura-pura tuli akan riuh kemacetan di sepanjang broadway. Semuanya berjalan begitu saja, tanpa kurencanakan. Baru beberapa jam yang lalu aku berhenti, atau mungkin lebih tepatnya terhenti, dan memutuskan untuk memulai segala sesuatu tanpa kurencanakan.

Kubiarkan saja angin menyeretku terbang, kubiarkan saja perasaan ini kosong tanpa kendali. Untuk kali ini saja, kubiarkan diriku meremas mimpi tanpa menyapu remahannya. Langkahku pun terhenti di salah satu flat yang kuingat betul dari kemarin. Knop pintu pun terputar, tanpa kesulitan seakan sudah menanti kehadiranku. Stephanie dan Blaire mungkin masih diluar. Mereka tampaknya juga sudah merapihkan kamarku.

Kuletakkan begitu saja koper dan tasku, lalu sesegera mungkin melompat ke kasur. Mungkin aku harus membersihkan diri secepat mungkin kalau tak mau mati kelaparan. Tak satupun makanan mampu masuk, bahkan ujung lidahku seakan terlalu kelu untuk mengecap asinnya garam. Mungkin berkeliling sambil mencari makanan diluar mampu membangun hari pertamaku disini. Kulirik arlojiku sembari melihat ke arah jendela. Jam 7 malam, masih terlalu sore di kota Ratu Elizabeth ini. Mungkin.

Jumat, 06 Januari 2017

Myth of Sorrow

Diposting oleh Alda Putri di 15.26 0 komentar
Januari sederhana..
Tepat di bulan ini, tepat setahun setelah itu. Aku kembali merasakan sakit, kembali merasa menari di tumpukan jarum yang begitu lebatnya, kembali merasa butuh tenaga baru untuk menangis. Salah satu kalimatmu membuat air mata ini terjatuh. Adilkah jika lidah yang tak bertulang mampu meremukkan hati ini?

Aku memanglah bukan pujangga, aku memanglah bukan penyair, bahkan aku bukanlah seorang penulis. Akan tetapi, hanya inilah caraku, caraku menumpahkan semua air mata tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Aku tak bisa merangkai kata, aku tak bisa menerbangkan impian. Aku disini, menangis kembali, menangisi orang yang berbeda.

Tuhan tampaknya tak jenuh menghadiahiku ujian. Harus kuakui, aku kembali menangis didalam jeritan. Aku tak mengerti rasa sakit yang kutangisi ini. Sejauh inikah karma yang kudapatkan? Aku lelah menangis Tuhan...

Aku bukanlah seorang pianis yang bisa menuangkan perasaannya lewat balokan nada. Aku tak mempunyai kekuatan sebesar itu untuk menuliskan kata hatiku. Aku bersabar, bersabar ditengah keegoisanmu. Aku mencintaimu, sungguh...

Aku tak dapat bersujud dikakimu agar kau tak meninggalkanku. Aku hanya bisa menangis. Aku sadar aku hanyalah gadis biasa yang rapuh hatinya. Aku diam, aku berusaha menekan egoku, tetapi mengapa engkau malah berdiri dan berkata kaulah pemenangnya?

Tuhan, jangan jatuhkan hatiku kepada orang yang tak bisa menjaganya, bahkan hanya sekedar menangkapnya. Aku selalu berusaha mengerti situasimu, aku selalu berusaha mengerti kesibukanmu. Kalut terus menerus menutupi mataku. Aku hanya membohongi diriku, membohongi kalau semua keadaan baik-baik saja. Aku menipu diriku yang bodoh akan perubahan sikapmu.

Aku tengah menjadi boneka hidup untuk kedua kalinya. Kuakui, aku terjatuh di lubang yang sama, meraungkan hal yang sama, menjerit di tempat yang sama. Mungkin aku harus bersiap karena aku tahu cara ini tak menghentikanmu untuk meninggalkanku....

Aku sadar aku hanyalah perempuan biasa, perempuan ambisius biasa, yang hanya merangkak mengejar impiannya. Aku terlalu lambat untuk mengikuti derap langkahmu. Aku terlalu bodoh untuk mengejar sinar matamu, dan aku yakin ribuan perempuan tengah menunggumu diluar sana.

Kau, alasanku menangis semalaman. Kau jugalah alasanku melupakan bagaimana caranya menangis. Mengapa sekarang kau memaksaku mengingat caraku menangis? Ini adil? Atau hanya aku saja yang terlalu mengharapkanmu?

Aku tak mempunyai kelebihan apapun, dan yang kutahu, aku terlalu 'biasa' untuk porsi se-istimewamu.........
 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos