Januari sederhana..
Tepat di bulan ini, tepat setahun setelah itu. Aku kembali merasakan sakit, kembali merasa menari di tumpukan jarum yang begitu lebatnya, kembali merasa butuh tenaga baru untuk menangis. Salah satu kalimatmu membuat air mata ini terjatuh. Adilkah jika lidah yang tak bertulang mampu meremukkan hati ini?
Aku memanglah bukan pujangga, aku memanglah bukan penyair, bahkan aku bukanlah seorang penulis. Akan tetapi, hanya inilah caraku, caraku menumpahkan semua air mata tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Aku tak bisa merangkai kata, aku tak bisa menerbangkan impian. Aku disini, menangis kembali, menangisi orang yang berbeda.
Tuhan tampaknya tak jenuh menghadiahiku ujian. Harus kuakui, aku kembali menangis didalam jeritan. Aku tak mengerti rasa sakit yang kutangisi ini. Sejauh inikah karma yang kudapatkan? Aku lelah menangis Tuhan...
Aku bukanlah seorang pianis yang bisa menuangkan perasaannya lewat balokan nada. Aku tak mempunyai kekuatan sebesar itu untuk menuliskan kata hatiku. Aku bersabar, bersabar ditengah keegoisanmu. Aku mencintaimu, sungguh...
Aku tak dapat bersujud dikakimu agar kau tak meninggalkanku. Aku hanya bisa menangis. Aku sadar aku hanyalah gadis biasa yang rapuh hatinya. Aku diam, aku berusaha menekan egoku, tetapi mengapa engkau malah berdiri dan berkata kaulah pemenangnya?
Tuhan, jangan jatuhkan hatiku kepada orang yang tak bisa menjaganya, bahkan hanya sekedar menangkapnya. Aku selalu berusaha mengerti situasimu, aku selalu berusaha mengerti kesibukanmu. Kalut terus menerus menutupi mataku. Aku hanya membohongi diriku, membohongi kalau semua keadaan baik-baik saja. Aku menipu diriku yang bodoh akan perubahan sikapmu.
Aku tengah menjadi boneka hidup untuk kedua kalinya. Kuakui, aku terjatuh di lubang yang sama, meraungkan hal yang sama, menjerit di tempat yang sama. Mungkin aku harus bersiap karena aku tahu cara ini tak menghentikanmu untuk meninggalkanku....
Aku sadar aku hanyalah perempuan biasa, perempuan ambisius biasa, yang hanya merangkak mengejar impiannya. Aku terlalu lambat untuk mengikuti derap langkahmu. Aku terlalu bodoh untuk mengejar sinar matamu, dan aku yakin ribuan perempuan tengah menunggumu diluar sana.
Kau, alasanku menangis semalaman. Kau jugalah alasanku melupakan bagaimana caranya menangis. Mengapa sekarang kau memaksaku mengingat caraku menangis? Ini adil? Atau hanya aku saja yang terlalu mengharapkanmu?
Aku tak mempunyai kelebihan apapun, dan yang kutahu, aku terlalu 'biasa' untuk porsi se-istimewamu.........
Jumat, 06 Januari 2017
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar