Kamis, 02 November 2017

Redup

Diposting oleh Alda Putri di 08.26

Senja di hari rabu ini cukup menarik. Langit jingga dengan awan yang merongrong keatas, bergerak perlahan. Kelasku baru saja berakhir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Halaman kampus sudah jauh dari kata sibuk, seakan ikut memudar bersama mentari. Sepi sekali kala itu, tetapi tak satupun celah payung gazebo yang terlewat akan jamahan suasana sore yang kian memerah, merekah ditelan bulan. Aku dan temanku memutuskan untuk mengisi menu makan malam kami dengan sepiring sate, tentu saja dengan nasi disampingnya nyehehe. Tempat makan yang kami pilih tak jauh dari gerbang belakang kampus, searah dengan kost ku..

Aku terdiam disana, kalaupun aku bersuara, aku lebih memilih tertawa. Sembari menunggu makanan yang kami pesan datang, kami berdua sibuk dengan urusan masing-masing. Mungkin dia tahu, jadi dia lebih memilih terdiam. Kurenungi setiap pejalan kaki yang sibuk menyeret tubuhnya di setapak jalan demangan itu, kuperhatikan betul setiap kendaraan yang berlalu lalang, dan satu persatu murid sekolah dasar pun pulang dengan sumringah. Aku ingat betul bahwa aku menutup mataku, cukup lama. Kubiarkan diriku larut dalam rasa sesak yang sedang kubendung, yang bisa kapan saja tumpah berserakan, merusak apa saja yang ada didekatnya..

Air mata ini kering, terkuras emosi yang meringsut kasar, kusut. Ingin rasanya aku memutar waktu, menemui diriku 30 jam sebelum hari ini, melarang mata yang penuh keingintahuan itu untuk melihat pesan yang menghancurkan hariku waktu itu. Pesan yang membawa rasa kecewa yang sangat kuat menancap. Demi apapun, bahkan aku sendiri tak tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku menangis memang, tapi tak menangis karena apa yang kita berdua ketahui. Aku menangis karena kecewa, ya kecewa. Aku menangis karena aku merasa sendiri sekarang, sendiri menangisimu yang terlampau jauh kuraih. Kau nyata, tapi memabukkan..

Aku, bahkan aku sendiri bingung. Bingung bagaimana cara menyikapinya, bingung cara mengekspresikannya, bingung cara menjawabnya. Aku tak dapat menjanjikan apa-apa sekarang, terlalu piawai rasa ini menamparku, jatuh terpelanting, terseok-seok dengan kaki yang hancur. Bagaimana bisa aku menemuimu, yang mungkin aku tak akan sanggup untuk menatap matamu? Aku takut kau mengetahui kekosonganku, lalu tertawa karena sukses dengan narasimu. Aku takut kau tahu, mengetahui seberapa berartinya dirimu untukku..

Makanan dipiringku pun habis kulahap, kumakan tanpa emosi. Berulang kali temanku ini menanyakan keadaanku, dan berulang kali juga kujawab tak apa. Aku menemaninya ke BRI, yang kebetulan ada di Circle K, tak jauh dari kost. Sembari membuka gembok, kamipun berbicara sepatah duapatah kata. Kututup pintu itu kembali, dan kamipun berpisah. Mengucapkan kata selamat istirahat sudah menjadi kebiasaan kami sebelum tenggelam di kamar masing-masing..

Kamarku berantakan, tak seperti biasanya. Aku merebahkan tubuhku yang cukup letih, dengan kepala yang kubenamkan ke tumpukan bantal. Kembali kudengar suaramu, yang berusaha menjelaskan apa yang terjadi. Akupun membaca ulang percakapan kalian, yang aku tahu akan merobek lagi luka yang mungkin mulai membaik. Kubiarkan hatiku merasakan sakit, sakit yang paling sakit. Kubiarkan pikiranku dipenuhi rasa kecewa, agar aku tak bodoh untuk selemah ini lagi. Kubiarkan air mata ini jatuh lagi, agar esok mata ini mati rasa jika dipaksa menangis lagi. Kubiarkan aku jatuh ke dalam perasaan ini lagi, sengaja..

Hatiku hancur, bahkan perekat tak sanggup lagi menyatukannya. Kuhapus air mataku, waktu bersedih sudah usai. Kutelan rasa pahit ini, karena untuk kesekian kalinya air mataku jatuh tanpa ada yang mengusapnya. Kupaksa badanku berdiri, merapihkan kamarku dan bergegas mandi. Sengaja kuberlama-lama di kamar mandi, berharap semua perasaan luruh dengan guyuran air dingin yang menyumbat nadi..

Aku kembali ke kamar. Setelah menyeduh coklat panas dan menghabiskannya, kumatikan lampu dikamar dan merebahkan badan. Kuputar lagu yang akhir-akhir ini sering kudengar. Perasaanku mulai membaik, yang kutahu esok akan hancur lagi. Mungkin aku akan terbiasa, terbiasa memainkan peran diatas pentas kita yang redup.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos