Minggu, 24 September 2017

Adelaide Sky

Diposting oleh Alda Putri di 09.16

Ketika sedih, ada saja alasanku menulis sejuta kalimat yang menggaruk pilu, yang mampu mendermakan nestapa di setiap hurufnya. Setiap ketukan rapuh di sudut pintu, hembusan angin semilir yang mematahkan ranting kayu, asap yang mengepul di kala bibir ini hendak berbisik, semua seakan berandil dalam sesaknya paru-paru yang hendak menceritakan kisahku.

Aku seakan berdiri, diperempatan sepi dengan asap yang bergelora. Aku seakan berpijak, di tanah yang terlalu gembur sampai-sampai mampu menelan tali sepatuku yang tak terikat. Aku seakan disini, tapi nyatanya aku tak bisa disisimu. Aku, kamu, sekiranya ada, namun terasa tiada.

Aku tertohok ujung besi yang memerah, mendidih dibakar birunya api. Aku seperti balita yang baru berjalan di tanah datar, lalu terjatuh. Aku masih tak mengerti alur mana yang kau tarik, aku masih tak memahami latar mana yang kau catat. Aku masih mengerjap sesekali, masih menyelaraskan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam lingkar retinaku. Tapi aku berusaha, berusaha tak membantu menutupi cahaya yang menyeruak dengan kelima jemariku.

Aku terduduk, di ujung tebing yang landai namun berbatu. Duduk menggantungkan kedua kaki yang tak beralas apapun. Menatap langit yang semakin hari semakin kehilangan cahayanya, meredup karena sang bintang tak kunjung sampai ke tempatnya biasa menari.

Lampu jalanpun sekarang bergantian, meredup menyala, berlomba mencari muka. Mencoba menaklukkan sang langit yang kosong mencari mangsa. Tapi si kecil bintang masih tengah berlari, berlari di tengah gugusan asteroid yang siap berubah menjadi komet kapanpun ia menyentuhnya. Terlalu gelap disini, terlalu banyak penghalang di sekitar kita.

Lalu sang bintang berhenti, celingak celinguk membuang pandangan. Langit tak seperti dulu, semuanya berubah. Seperti salah alamat, tetapi nyata. Iapun bertanya, kesana kemari, menanyai hal yang sama kepada setiap mereka yang melalang buana. Tetap saja bintang tak menemukan langitnya, langitnya berubah menjadi kemarau yang membuatnya pangling.

Maka, langitpun keluar dari persembunyiannya, merasa sepi karna tak ada lagi yang mencarinya dengan gelisah. Dalam diam ia menggigit bibir, melepaskan pandangan mencari bintangnya. Tetapi apa? Ia menemukan bulan, yang ia jadikan pelampiasan dan kini tak ia hiraukan lagi. Dilemparkannya saja bulan itu, yang tak mengerti apa-apa, tersungkur di lantai yang tak bertepi, menjauh tanpa kendali.

Langit berlari, mengitari sang jagat yang tak sekecil bima sakti. Mencari bintang miliknya diantara bintang milik orang lain. Sudah tergambar dalam benaknya segala upaya untuk menarik bintang kembali. Cara itu biasanya bisa meluluhkan hati bintang. Maka, diputarinya bima sakti untuk ke sembilan kalinya. Hasilnya nihil.

Bintang yang ia kira mempermainkan dirinya, ternyata dulu tengah berjuang memantaskan diri. Dengan ego, dia hadirkan bulan yang dengan seluruh nadinya siap berkorban untuk langit, sang cakrawala. Bersedia menjadi gerhana, bahkan sabit. Tapi jika memang bukan tempatnya, apa bisa ia memaksa bulan untuk tinggal? Sementara bintang kecilnya sudah pergi menjauh, bintang yang tak akan dia temukan lagi..

0 komentar:

Posting Komentar

 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos