Kamis, 11 Januari 2018

Good Evening London! (3)

Diposting oleh Alda Putri di 01.56
Aku baru menyadari akan keputusanku untuk tidak menunda makan akan membuat sedikit kesan di hariku. Ya, akhirnya aku memutuskan untuk mengitari sekitaran flat. Bagaimanapun aku harus mulai mengingat jalan bukan?

Terlalu berbeda disini. Mau tak mau akupun teringkus akan suasana yang berbeda, atmosfer yang berbeda. Nuansa barupun berputar di pikiranku. Apakah ini hal yang dirasakan para pemeran utama di lusinan novel yang kebanyakan kubaca? Apakah perasaan ini juga yang wajar dirasakan ketika kita membuat keputusan yang awalnya sangat tidak mungkin diwujudkan? Ya, aku juga tak tahu.

Akhirnya, akupun memutuskan untuk memakan pasta di hari yang nyaris malam disini. Tempatnya sederhana dengan tembok berwarna biru muda dan aksesoris ala viking didalamnya. Pandanganku tumpah ruah mengelilingi ruangan yang tak terlalu besar ini. Tak ayal pandanganku terhenti pada sebuah grand piano tua yang warnanya senada dengan cat tembok itu.

"Can I play it, Ma'am?" Tanyaku pada seorang wanita tua yang sepertinya pemilik restoran ini.
"Of course, you can use it everytime you want, sweetheart."

Briggia Anderson, yang belakangan kuketahui sudah mendirikan restoran ini lebih dari 10 tahun lamanya. Suaminya, Travis Anderson adalah seorang pensiunan militer angkatan udara yang sangat gemar memasak. Pasta buatan Mr. Anderson memang pantas diberi bintang 5. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki, lebih tua dariku sekitar 5 tahun, Adam Anderson. Sepintas Adam sangat mirip dengan Brie ketika tersenyum. Tetapi, Adam tengah menetap di Oxford untuk mendapatkan gelar Masternya di akhir bulan ini. Kami bertiga pun berbincang sampai waktunya untuk menutup restoran, Ramses.

"He will like you, Rachie. Besok dia akan singgah ke London. Datanglah untuk sekedar minum teh besok sore. Rumah kami hanya berbeda beberapa blok dari restoran." Adam? Nama itu membuatku cukup penasaran.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos