Pernahkah kamu penasaran akan sebuah perpisahan? Seperti apa yang kau rasakan? Apa yang akan terjadi setelah itu? Siapa yang akan kau temui? Siapa yang mungkin menerima kurang dan lebihmu? Bahkan, secepat apa hatimu memulihkan lukanya?
Jadi, kalau kita penasaran, apakah itu tandanya kita siap melepas? Apakah kita siap kembali sendiri? Ataukah ini hanya sebuah kamuflase diri yang sebenarnya letih untuk menumbuhkan sebuah cinta? Atau bahkan malah sudah gagal sebelum melakukan hal itu?
Entahlah, akupun masih menebak kala itu.
Senja dengan gemelut awan yang kelabu, menutupi elegi yang sebenarnya kutunggu. Aku berjalan setapak demi setapak, tanpa sadar aku kembali merenung. Aku berjalan sendiri, beraktifitas sendiri, menangis sendiri, dan meringkuk kedinginan sendiri. Aku menjerit sendiri, bahkan menyicipi masakan hambarku sendiri. Hal yang dari dulu kutakuti, tetapi mampu kulewati dengan kuatnya.
Aku takut, diriku makin tak terkontrol dari waktu ke waktu. Pikiranku bergerilya dengan liarnya, perasaanku pun menjadi sebuah sandera gemuk yang meremuk karena digilas rasa ini. Tiap hari, aku makin tak bisa merasa, kebal. Tangis ini kian menetes, meremas tiap inci hati yang berdarah, merembes keluar bersama peluh. Semakin hari kau semakin terasa jauh, aku bahkan tak bisa merasa padamu. Aku takut, aku takut kalau ternyata aku telah menyerah dan tak kusadari.
Semuanya terlihat biasa, seakan baik saja. Tersenyum, tertawa, dan menangis seperti semuanya normal. Tapi aku tak bisa berbohong lebih lama, semua tak bisa kembali seperti semula. Semua yang tertoreh, tak bisa terhapus dengan sempurna. Walaupun perasaan ini tetap ada, tetap sama, rasa kecewa ternyata cukup pelik. Rasanya ingin egois, egois menggenggam jemari erat agar tak terlepas. Cinta itu masih ada, dan aku pastikan tak pernah berpindah. Perasaan ini kupastikan tak rela melihatmu terisi oleh cinta lain. Air mata ini kupastikan menetes deras jika melihatmu mencium ujung kepala selain milikku. Jeritan ini kupastikan bergema jika melihat alasan tertawamu bukanlah aku.
Tapi rasa ingin menyerah itu ada. Yang berniat menoleransi segala hal diatas. Ketakutan itu selalu ada, ketakutan bahwa ragamu memang bersamaku, tapi hatimu menunggu terisi oleh hati lain setelah menggunakan hatiku untuk memulihkannya. Mungkin hatiku hanyalah penawar rasa sakitmu, mungkin.
Lantas, sebenarnya seperti apa rasa berpisah itu? Apakah berpisah denganmu terasa sama dengan perpisahan yang telah lebih dulu terjadi? Apakah aku bisa tegar seperti kemarin? Atau aku akan menangis sejadi-jadinya? Satu hal yang kutahu, bagaimanapun proses yang terpilih, aku pasti bisa menerima untuk melepaskan seseorang yang sebenarnya bukan milikku. Apakah munafik jika aku ingin belajar bahwa cinta tak harus memiliki?
0 komentar:
Posting Komentar