Hari ini hujan tak kunjung menetes. Awan yang mengaburkan pandangan tak mampu menurunkannya. Pagi ini, pagi sendu di kota Yogyakarta yang menyimpan ceritaku...
Aku terbangun dengan perasaan kosong, menatap nanar layar handphone yang seakan tahu aku merindukan dirimu. Hari ini ada ucapan selamat pagi, setelah itu kata maaf, lalu ocehan menyebalkanmu yang terkadang kupandangi lagi esoknya. Mungkin terdengar klise, tapi hal itu semua mampu menciptakan hariku, hari ini.
Aku mengerjap beberapa kali, menguap sedalam-dalamnya, seraya membentangkan lebar kedua tanganku. Pagi ini seperti pagi kemarin, aku memulai hari tentu saja tanpamu. Aku berdiri dan menjalani hari dengan caraku. Hufh, aku tidak boleh mengeluh, kan? Yang aku tahu, setiap orang mempunyai kesendiriannya masing-masing. Semua tergantung cara kita menjalaninya kan, sayang?
Kulirik jam sekilas, hampir saja aku lupa untuk pergi mengerjakan rutinitasku sebagai mahasiswa. Selasa ini memang akan menjadi hari libur untuk satu semester kedepan, tetapi pekerjaan kelompok tak sejinak itu hari ini. Tepat jam 13.00 aku harus berangkat ke cafe yang kami sepakati sebagai tempat kami bertemu.
Sebelum berangkat, masih sempat-sempatnya kita bertukar pesan pendek yang mampu mencubit rindu. Walaupun hari ini kau tampak sibuk, usahamu menyempatkan untuk berbagi kabar mampu memancing matahari keluar sedikit siang ini. Semuanya pun berjalan sebagaimana mestinya, terlalu normal. Membosankan.
Setelah selesai mengerjakan tugas kelompok, aku dan teman-teman yang lain masih sempat bermain stacko. Sejenak meregangkan tengkuk kepala yang berputar-putar dengan liarnya. Kami tertawa disana, tetapi waktu terlalu cepat usai, aku berjalan setapak demi setapak menyusuri jalanan di bawah langit Jogja yang meredup. Aku menghirup napas dalam-dalam beberapa kali. Tercium olehku harum tanah basah, sudah mau hujan ternyata.
Akupun berjalan agak cepat setelah temanku yang tinggal satu gang berbeda denganku sampai. Setibanya, pintupun terbuka dan langsung aku bergegas untuk membersihkan diri. Aku merebahkan tubuh letihku. Seletih-letihnya diriku, masih lebih letih kamu kan, sayang? Haha, aku kembali mengingatmu dalam sepiku.
Aku pasrah saja saat kamu tak bisa mengabariku, tapi ternyata Tuhan tak sekejam itu. Bahkan malam itu, aku mendengar suaramu sebentar, 32 menit kritis yang mampu mengenyahkan rinduku sekejap. Disini aku belajar untuk sangat menghargai tiap detik waktuku bersamamu, untuk selalu meminimalisir egoku saat disampingmu. Satu tahun empat bulan agaknya cukup untuk memantaskan diri ini jika disandingkan denganmu. Satu tahun empat bulan ini mungkin bisa mengasah ego dan kedewasaanku. Sabar ya, kaki ini belum terlalu letih untuk berlari mengejarmu kok.