Selasa, 26 September 2017

Cliche

Diposting oleh Alda Putri di 17.51 0 komentar

Hari ini hujan tak kunjung menetes. Awan yang mengaburkan pandangan tak mampu menurunkannya. Pagi ini, pagi sendu di kota Yogyakarta yang menyimpan ceritaku...

Aku terbangun dengan perasaan kosong, menatap nanar layar handphone yang seakan tahu aku merindukan dirimu. Hari ini ada ucapan selamat pagi, setelah itu kata maaf, lalu ocehan menyebalkanmu yang terkadang kupandangi lagi esoknya. Mungkin terdengar klise, tapi hal itu semua mampu menciptakan hariku, hari ini.

Aku mengerjap beberapa kali, menguap sedalam-dalamnya, seraya membentangkan lebar kedua tanganku. Pagi ini seperti pagi kemarin, aku memulai hari tentu saja tanpamu. Aku berdiri dan menjalani hari dengan caraku. Hufh, aku tidak boleh mengeluh, kan? Yang aku tahu, setiap orang mempunyai kesendiriannya masing-masing. Semua tergantung cara kita menjalaninya kan, sayang?

Kulirik jam sekilas, hampir saja aku lupa untuk pergi mengerjakan rutinitasku sebagai mahasiswa. Selasa ini memang akan menjadi hari libur untuk satu semester kedepan, tetapi pekerjaan kelompok tak sejinak itu hari ini. Tepat jam 13.00 aku harus berangkat ke cafe yang kami sepakati sebagai tempat kami bertemu.

Sebelum berangkat, masih sempat-sempatnya kita bertukar pesan pendek yang mampu mencubit rindu. Walaupun hari ini kau tampak sibuk, usahamu menyempatkan untuk berbagi kabar mampu memancing matahari keluar sedikit siang ini. Semuanya pun berjalan sebagaimana mestinya, terlalu normal. Membosankan.

Setelah selesai mengerjakan tugas kelompok, aku dan teman-teman yang lain masih sempat bermain stacko. Sejenak meregangkan tengkuk kepala yang berputar-putar dengan liarnya. Kami tertawa disana, tetapi waktu terlalu cepat usai, aku berjalan setapak demi setapak menyusuri jalanan di bawah langit Jogja yang meredup. Aku menghirup napas dalam-dalam beberapa kali. Tercium olehku harum tanah basah, sudah mau hujan ternyata.

Akupun berjalan agak cepat setelah temanku yang tinggal satu gang berbeda denganku sampai. Setibanya, pintupun terbuka dan langsung aku bergegas untuk membersihkan diri. Aku merebahkan tubuh letihku. Seletih-letihnya diriku, masih lebih letih kamu kan, sayang? Haha, aku kembali mengingatmu dalam sepiku.

Aku pasrah saja saat kamu tak bisa mengabariku, tapi ternyata Tuhan tak sekejam itu. Bahkan malam itu, aku mendengar suaramu sebentar, 32 menit kritis yang mampu mengenyahkan rinduku sekejap. Disini aku belajar untuk sangat menghargai tiap detik waktuku bersamamu, untuk selalu meminimalisir egoku saat disampingmu. Satu tahun empat bulan agaknya cukup untuk memantaskan diri ini jika disandingkan denganmu. Satu tahun empat bulan ini mungkin bisa mengasah ego dan kedewasaanku. Sabar ya, kaki ini belum terlalu letih untuk berlari mengejarmu kok.

Minggu, 24 September 2017

Adelaide Sky

Diposting oleh Alda Putri di 09.16 0 komentar

Ketika sedih, ada saja alasanku menulis sejuta kalimat yang menggaruk pilu, yang mampu mendermakan nestapa di setiap hurufnya. Setiap ketukan rapuh di sudut pintu, hembusan angin semilir yang mematahkan ranting kayu, asap yang mengepul di kala bibir ini hendak berbisik, semua seakan berandil dalam sesaknya paru-paru yang hendak menceritakan kisahku.

Aku seakan berdiri, diperempatan sepi dengan asap yang bergelora. Aku seakan berpijak, di tanah yang terlalu gembur sampai-sampai mampu menelan tali sepatuku yang tak terikat. Aku seakan disini, tapi nyatanya aku tak bisa disisimu. Aku, kamu, sekiranya ada, namun terasa tiada.

Aku tertohok ujung besi yang memerah, mendidih dibakar birunya api. Aku seperti balita yang baru berjalan di tanah datar, lalu terjatuh. Aku masih tak mengerti alur mana yang kau tarik, aku masih tak memahami latar mana yang kau catat. Aku masih mengerjap sesekali, masih menyelaraskan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam lingkar retinaku. Tapi aku berusaha, berusaha tak membantu menutupi cahaya yang menyeruak dengan kelima jemariku.

Aku terduduk, di ujung tebing yang landai namun berbatu. Duduk menggantungkan kedua kaki yang tak beralas apapun. Menatap langit yang semakin hari semakin kehilangan cahayanya, meredup karena sang bintang tak kunjung sampai ke tempatnya biasa menari.

Lampu jalanpun sekarang bergantian, meredup menyala, berlomba mencari muka. Mencoba menaklukkan sang langit yang kosong mencari mangsa. Tapi si kecil bintang masih tengah berlari, berlari di tengah gugusan asteroid yang siap berubah menjadi komet kapanpun ia menyentuhnya. Terlalu gelap disini, terlalu banyak penghalang di sekitar kita.

Lalu sang bintang berhenti, celingak celinguk membuang pandangan. Langit tak seperti dulu, semuanya berubah. Seperti salah alamat, tetapi nyata. Iapun bertanya, kesana kemari, menanyai hal yang sama kepada setiap mereka yang melalang buana. Tetap saja bintang tak menemukan langitnya, langitnya berubah menjadi kemarau yang membuatnya pangling.

Maka, langitpun keluar dari persembunyiannya, merasa sepi karna tak ada lagi yang mencarinya dengan gelisah. Dalam diam ia menggigit bibir, melepaskan pandangan mencari bintangnya. Tetapi apa? Ia menemukan bulan, yang ia jadikan pelampiasan dan kini tak ia hiraukan lagi. Dilemparkannya saja bulan itu, yang tak mengerti apa-apa, tersungkur di lantai yang tak bertepi, menjauh tanpa kendali.

Langit berlari, mengitari sang jagat yang tak sekecil bima sakti. Mencari bintang miliknya diantara bintang milik orang lain. Sudah tergambar dalam benaknya segala upaya untuk menarik bintang kembali. Cara itu biasanya bisa meluluhkan hati bintang. Maka, diputarinya bima sakti untuk ke sembilan kalinya. Hasilnya nihil.

Bintang yang ia kira mempermainkan dirinya, ternyata dulu tengah berjuang memantaskan diri. Dengan ego, dia hadirkan bulan yang dengan seluruh nadinya siap berkorban untuk langit, sang cakrawala. Bersedia menjadi gerhana, bahkan sabit. Tapi jika memang bukan tempatnya, apa bisa ia memaksa bulan untuk tinggal? Sementara bintang kecilnya sudah pergi menjauh, bintang yang tak akan dia temukan lagi..

Rabu, 20 September 2017

Esok (?)

Diposting oleh Alda Putri di 06.37 0 komentar

Cerita kita dimulai disini, yang mungkin diawali senyum merona dalam untaian sajak. Aku mungkin tertipu karena senyumanmu, yang selalu kurindukan di tiap malamnya. Kuhitung setiap bintang yang bersembunyi di balik awan, mencari celah untuk bertanya kepada dirimu yang aku sendiri pun tak tahu dimana. Kuhirup udara malam ini dalam-dalam, berharap mampu mengisi sedikit lorong kelam yang tuli karena jeritanku sendiri, mengucapkan kata rindu ribuan kali tanpa henti. Lidah ini tak kunjung kelu karena bergumam, kaki ini tak kunjung mati rasa karena berlutut, bahkan rasa bosanku pun tak berani membantah karena sering meringkuk. Aku beringsut sedetik, untuk melangkah semenit. Aku meraba semenit, untuk menunggu sejam. Aku tertidur sejam, untuk bertemu denganmu esok. Esok, yang ketika hari berganti, sang Esok tetaplah akan menjadi sebuah esok.

 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos