Minggu, 15 April 2018

Tidur

Diposting oleh Alda Putri di 14.07 0 komentar
Tak mengantuk, padahal sudah subuh.
Jadi aku putar saja lagu semalam suntuk, biar badan ini letih dan luruh.
Lampu tidurku dihembus kipas lalu terantuk, tapi tak sanggup dan terlalu kelu tuk mengaduh.
Makanya aku menyelutuk, akibat lagu sendu yang mengundang langit bergemuruh...

Bersabar terus katanya, tapi sampai kapan?
Selalu aku bertanya, cuma tak kunjung dapat jawaban.
Makanya, sekarang mataku senantiasa berkedip melamban...

Boleh tidak aku kesakitan, agar bisa bersandar dibahumu?
Aku ingin saja merasakan, bagaimana sih rasanya relung itu walaupun semu.
Cuma mau menjadi manja sepekan, karna dari kemarin kuat tak jemu.



Yogyakarta, 16 April 2018

Sabtu, 14 April 2018

Sabtu Malamku, Malam Minggumu.

Diposting oleh Alda Putri di 10.18 0 komentar
Aku baru saja menyesap coklat panasku, sekali, duakali. Hujan baru turun malam ini, mencoba mengelabuhi siang yang tak kalah panasnya. Kurapatkan juga kursiku ke arah meja, kupasang headset menutupi telingaku. Aku kembali masuk ke dalam duniaku, yang tentu hanya ada satu orang yang bisa menyelinap masuk kedalamnya selain aku. Kamu...

Ini bulan ke delapanku jauh darimu, tapi aku masih mengingat betul apa saja yang telah kulewati sebelumnya. Lagi-lagi kuputar lagu Dialog Hujan yang dinyanyikan oleh Senar Senja, lagi-lagi aku kembali ke masa laluku. Mencoba mengingat kenangan kemarin sore, yang mulai mengabur dari lekat ingatan yang begitu menempel, tak beruang sekat. Mencoba mengingat seberapa sering aku tersenyum saat menunggu telponmu, seberapa sering aku menggigit kuku telunjukku karena cemas akan kabarmu, seberapa groginya aku menunggumu keluar dari stasiun, bahkan seberapa sedihnya aku harus meninggalkan kota yang kau huni...

Aku sekarang sedang tersenyum, sambil sesekali menegak coklat tadi yang asapnya kian mengepul. Aku masih tertawa jika mengingat bagaimana aku menahan jantungku agar tak meloncat keluar malam itu. Berkali-kali aku menarik seulas senyum tertahan selama perjalanan sekitar 45 menit dari Yogyakarta menuju Jakarta. Berulang kali kutepuk pipiku yang mulai memerah karena membayangkan bertemu denganmu kala itu. Dan beribu kali aku membiarkan jemariku saling meremas kaku, pertanda cemas yang sedemikian kutahan...

Kembali lagi ke sebulan sebelumnya, aku sekarang tengah mencoba mengingat tiap malam mingguku. Bagaimana aku berbicara denganmu, bersebrangan, berjauhan, tapi tetap saja jantungku berdetak tak karuan. Aku tertawa sendiri, aku berguling kekiri lalu keterusan. Aku terjatuh, tapi aku tertawa. Kenapa tidak? Aku baru saja mengenal lelakiku, baru saja...

Persetan dengan cerita sedih, setiap orang memiliki masa lalu. Tugasku hanya mengisi masa depanmu, porsiku hanya berhak untuk mempelajari kesalahan dari masa lalumu, dengan harapan tak akan kuulang lagi. Jadi kuputuskan menunggumu di perempatan jalan, yang kala itu ditutupi daun kering yang semestinya kusapu bersih. Saat itu yang terpikirkan olehku adalah menunggumu, memayungimu karena hujan turun deras sekali. Tapi ketika aku mengulurkan tangan, kau malah membuang payungnya, lalu memelukku. Kita kehujanan, atau lebih tepatnya kau mengajakku untuk kehujanan bersamamu. Kau ajak aku untuk masuk ke dalam dirimu, masuk ke dalam kesedihan yang selama ini kau tutupi. Menyuruhku melengkapi, menutupi setiap lubangnya yang retak kesana kemari...

Aku mengenalmu, perlahan, lebih lambat dari pasangan pada umumnya. Kaupun begitu, menerimaku lebih lamban dari seekor Flash, kukang lemot yang ada di kartun Zootopia. Tapi semuanya mengalir bukan? Semuanya berjalan mengikuti arusnya, kan? Aku membiarkan dirimu menyesuaikan, karena aku yakin sungai deras kita akan bermuara. Ia akan berhenti di sebuah titik, dimana hati kita akan selaras, pikiran kita akan sejarak...

Senin, 02 April 2018

Surat Untuk Kamu

Diposting oleh Alda Putri di 10.54 0 komentar
Malam ini, aku tak sengaja melihat video foto kita yang dialunkan oleh sebuah lagu yang menemaniku kemarin. Agak berlebihan sih, tapi lagu itu sungguh emosional menurutku. Lagu itu, Dialog Hujan yang dinyanyikan oleh Senar Senja...

Aku ingat kala itu, kapan pertama kali aku mendengarkan lagu ini. Di sebuah kafe yang jaraknya hanya beberapa meter dari kampus, saksi yang mengetahui secara detil apa saja yang telah kulewati kemarin. Aku memejamkan mata sambil mendengarkan lagu ini mengalun sayup-sayup, menikmati benar-benar sambil mengingat kejadian kemarin petang. Jujur, terlalu banyak perubahan yang terjadi di dalam diriku setelah mengenalmu. Gadis yang berusaha tegar sedari tadi, kini menitikkan air matanya. Sekali, dua kali, dan sebelum yang ketiga kalinya bergulir di pipinya, ia mengusapnya kasar...

Aku kembali berusaha mengingat dengan benar, masa-masa awalku mengenalmu. Bahagia, sungguh. Pesanmu masuk tanpa kuduga, yang belakangan aku sadar bahwa kau adalah orang yang paling tak bisa kutebak. Aku sudah berkali-kali menyatakannya, dan hanya kau balas dengan tawaan. Kau, lelaki pertama yang membuatku tak bisa tidur, yang memberikan tanda tanya besar dengan garis setebal 5 cm diatas kepalaku. Kau, misterius...

Aku amat bahagia kala itu, berusaha mengenalmu yang awalnya timbul dari rasa penasaran. Aku menilisik disetiap relungmu, mencoba mencari kunci yang tak berujung kemana-mana. Aku berjalan terlalu jauh kemarin, aku terlalu terbawa suasana. Aku berlari kearahmu, mengikutimu yang perlahan memudar menjadi letupan kecil kembang api yang bahkan asapnya saja tak terlihat. Terlalu jauh, sampai aku enggan untuk pulang ke tempat dimana aku berasal sebelumnya...

Aku awalnya menangis, karena tak munafik bahwa aku perlu penyesuaian. Aku terlalu gamblang dalam menentukan keputusan. Menyesal? Tak ada gunanya, tak ada waktunya. Dengan mantap, aku yang tadi duduk tersungkur akibat gelap, kembali berjalan mengikuti kata hatiku. Tak diduga, setelah 5 langkah, aku menemukanmu. Seperti yang sebelumnya kukatakan, kamu tak tertebak, sungguh...

Tak sedikitpun kamu memanjakanku seperti perempuan lainnya, melainkan aku dipaksa untuk menyesuaikan diri dan tegar dalam menghadapi permasalahan yang pasti akan aku hadapi nantinya. Tak ada kau usap air mataku, bahkan tak pernah terpikirkan olehmu untuk membersihkan lututku yang memar dimakan luka. Aku yang saat itu mencintaimu, dan terbutakan bahwa engkau hanya penasaran...

Aku lagi-lagi memperhatikanmu, setiap sudut ke sudut, sampai redup sorotan matamu pun tak luput dari penglihatanku. Aku ingat bagaimana tangisku ketika menyadari, hatimu belum untukku. Aku merasa berlari sendiri disaat aku berpura-pura buta bahwa kau hanya melempar pancing tanpa menariknya kembali. Aku mengetahui dan benar-benar mengerti adanya, tapi aku hanya berbicara lewat hatimu, aku sungguh ingin bersamamu, wahai orang asingku...

Mungkin hatimu gundah kala itu, bingung ingin mengikuti cintamu, atau yang mencintamu. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, membiarkan hati kecilmu yang mengambil alih semua alur cerita yang terlalu banyak mengandung makna konotasi ganda. Aku membiarkan dirimu menentukan jalanmu, berusaha tegar bahwa mungkin saja aku akan menangis setelah ini. Aku bersyukur kala itu, kau malah berlari kearahku, mengecup punggung tanganku yang basah karena tetesan air matamu. Bukan karena pertama kalinya aku melihat lelaki menangisiku, hanya saja aku tersentuh melihatmu yang begitu lemah hanya karena mencintainya. Berulang kali aku menghirup napas berat sambil memejamkan mata, yang memaksa air mataku sendiri untuk menyeruak keluar. Setiap helaan aku sungguh berharap agar Tuhan membiarkanku menjagamu disaat kau lemah, dan membiarkanmu menjagaku disaat ku lemah...

Semua memang butuh proses, termasuk mencintamu dan mencintaku. Awalnya memang banyak hal kecil yang menjadi topik pertengkaran kita. Terlalu banyak ketidaksepemahaman diantara kita. Aku belum sebegitu pentingnya, sehingga pantas kau prioritaskan. Kita sempat tak berkomunikasi beberapa hari lamanya, ntah karena ini dan itu. Tapi sekalipun aku tak pernah mengeluh, karena aku menganggap bahwa ini cara Tuhan mendewasakanku. Aku dengan setia menunggumu di perempatan jalan yang ternyata tak satupun ada yang melewati. Aku ingin jujur, bahwa saat-saat itu adalah saat terberat dihidupku. Aku benar-benar berada dimasa terendah dalam hidupku, berjuang dan menghadapi masalah sendirian, tanpa bisa berkeluh kesah denganmu. Rasanya ingin saja aku menarikmu, berteriak lantang bahwa aku tak setegar itu. Tapi kutelan kembali keinginan bocahku. Aku harus cukup tegar agar bisa sepadan denganmu...

Aku tak perlu menjelaskan secara panjang lebar sebagaimana jauhnya perasaanku kemarin, karena seperti yang kau bilang, bohong sekali kalau kau tak merasakan perasaanku terhadapmu. Kukira, sorot mataku saat memandangmu sudah sangat-sangat menyiratkan semuanya, yang dapat kau tangkap hanya dalam sepersekian mikro-nano-detik...

Dan setelah semua yang aku, dan kamu, lewati beberapa windu kemarin, aku bisa bernapas lega. Delapan bulan belakangan ini benar mengubahku jauh, jauh dari aku yang sebelumnya. Kau juga berubah, yang tentunya berubah menjadi lebih baik. Kita berdua sudah mulai menemui muara dan makin mengerti bagaimana cara melepas tali yang tersimpul rumit. Aku mulai menerima hatimu, mungkin. Hatimu yang beberapa pekan lalu kau berikan, yang sudah kujanjikan akan selalu merespon setiap cerita kita kedepannya...
 

Signatures of Blossom Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos