Malam ini, aku tak sengaja melihat video foto kita yang dialunkan oleh sebuah lagu yang menemaniku kemarin. Agak berlebihan sih, tapi lagu itu sungguh emosional menurutku. Lagu itu, Dialog Hujan yang dinyanyikan oleh Senar Senja...
Aku ingat kala itu, kapan pertama kali aku mendengarkan lagu ini. Di sebuah kafe yang jaraknya hanya beberapa meter dari kampus, saksi yang mengetahui secara detil apa saja yang telah kulewati kemarin. Aku memejamkan mata sambil mendengarkan lagu ini mengalun sayup-sayup, menikmati benar-benar sambil mengingat kejadian kemarin petang. Jujur, terlalu banyak perubahan yang terjadi di dalam diriku setelah mengenalmu. Gadis yang berusaha tegar sedari tadi, kini menitikkan air matanya. Sekali, dua kali, dan sebelum yang ketiga kalinya bergulir di pipinya, ia mengusapnya kasar...
Aku kembali berusaha mengingat dengan benar, masa-masa awalku mengenalmu. Bahagia, sungguh. Pesanmu masuk tanpa kuduga, yang belakangan aku sadar bahwa kau adalah orang yang paling tak bisa kutebak. Aku sudah berkali-kali menyatakannya, dan hanya kau balas dengan tawaan. Kau, lelaki pertama yang membuatku tak bisa tidur, yang memberikan tanda tanya besar dengan garis setebal 5 cm diatas kepalaku. Kau, misterius...
Aku amat bahagia kala itu, berusaha mengenalmu yang awalnya timbul dari rasa penasaran. Aku menilisik disetiap relungmu, mencoba mencari kunci yang tak berujung kemana-mana. Aku berjalan terlalu jauh kemarin, aku terlalu terbawa suasana. Aku berlari kearahmu, mengikutimu yang perlahan memudar menjadi letupan kecil kembang api yang bahkan asapnya saja tak terlihat. Terlalu jauh, sampai aku enggan untuk pulang ke tempat dimana aku berasal sebelumnya...
Aku awalnya menangis, karena tak munafik bahwa aku perlu penyesuaian. Aku terlalu gamblang dalam menentukan keputusan. Menyesal? Tak ada gunanya, tak ada waktunya. Dengan mantap, aku yang tadi duduk tersungkur akibat gelap, kembali berjalan mengikuti kata hatiku. Tak diduga, setelah 5 langkah, aku menemukanmu. Seperti yang sebelumnya kukatakan, kamu tak tertebak, sungguh...
Tak sedikitpun kamu memanjakanku seperti perempuan lainnya, melainkan aku dipaksa untuk menyesuaikan diri dan tegar dalam menghadapi permasalahan yang pasti akan aku hadapi nantinya. Tak ada kau usap air mataku, bahkan tak pernah terpikirkan olehmu untuk membersihkan lututku yang memar dimakan luka. Aku yang saat itu mencintaimu, dan terbutakan bahwa engkau hanya penasaran...
Aku lagi-lagi memperhatikanmu, setiap sudut ke sudut, sampai redup sorotan matamu pun tak luput dari penglihatanku. Aku ingat bagaimana tangisku ketika menyadari, hatimu belum untukku. Aku merasa berlari sendiri disaat aku berpura-pura buta bahwa kau hanya melempar pancing tanpa menariknya kembali. Aku mengetahui dan benar-benar mengerti adanya, tapi aku hanya berbicara lewat hatimu, aku sungguh ingin bersamamu, wahai orang asingku...
Mungkin hatimu gundah kala itu, bingung ingin mengikuti cintamu, atau yang mencintamu. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa terdiam, membiarkan hati kecilmu yang mengambil alih semua alur cerita yang terlalu banyak mengandung makna konotasi ganda. Aku membiarkan dirimu menentukan jalanmu, berusaha tegar bahwa mungkin saja aku akan menangis setelah ini. Aku bersyukur kala itu, kau malah berlari kearahku, mengecup punggung tanganku yang basah karena tetesan air matamu. Bukan karena pertama kalinya aku melihat lelaki menangisiku, hanya saja aku tersentuh melihatmu yang begitu lemah hanya karena mencintainya. Berulang kali aku menghirup napas berat sambil memejamkan mata, yang memaksa air mataku sendiri untuk menyeruak keluar. Setiap helaan aku sungguh berharap agar Tuhan membiarkanku menjagamu disaat kau lemah, dan membiarkanmu menjagaku disaat ku lemah...
Semua memang butuh proses, termasuk mencintamu dan mencintaku. Awalnya memang banyak hal kecil yang menjadi topik pertengkaran kita. Terlalu banyak ketidaksepemahaman diantara kita. Aku belum sebegitu pentingnya, sehingga pantas kau prioritaskan. Kita sempat tak berkomunikasi beberapa hari lamanya, ntah karena ini dan itu. Tapi sekalipun aku tak pernah mengeluh, karena aku menganggap bahwa ini cara Tuhan mendewasakanku. Aku dengan setia menunggumu di perempatan jalan yang ternyata tak satupun ada yang melewati. Aku ingin jujur, bahwa saat-saat itu adalah saat terberat dihidupku. Aku benar-benar berada dimasa terendah dalam hidupku, berjuang dan menghadapi masalah sendirian, tanpa bisa berkeluh kesah denganmu. Rasanya ingin saja aku menarikmu, berteriak lantang bahwa aku tak setegar itu. Tapi kutelan kembali keinginan bocahku. Aku harus cukup tegar agar bisa sepadan denganmu...
Aku tak perlu menjelaskan secara panjang lebar sebagaimana jauhnya perasaanku kemarin, karena seperti yang kau bilang, bohong sekali kalau kau tak merasakan perasaanku terhadapmu. Kukira, sorot mataku saat memandangmu sudah sangat-sangat menyiratkan semuanya, yang dapat kau tangkap hanya dalam sepersekian mikro-nano-detik...
Dan setelah semua yang aku, dan kamu, lewati beberapa windu kemarin, aku bisa bernapas lega. Delapan bulan belakangan ini benar mengubahku jauh, jauh dari aku yang sebelumnya. Kau juga berubah, yang tentunya berubah menjadi lebih baik. Kita berdua sudah mulai menemui muara dan makin mengerti bagaimana cara melepas tali yang tersimpul rumit. Aku mulai menerima hatimu, mungkin. Hatimu yang beberapa pekan lalu kau berikan, yang sudah kujanjikan akan selalu merespon setiap cerita kita kedepannya...