Cerita lama memang sudah berganti dengan cerita baru. Takkan ada lagi cerita telenovela, takkan ada lagi cerita melankolis. Kehidupan baru dimulai tanpa satupun kata pengantar, bahkan untuk bersuara saja tenggorokan ini terasa kering dan mengeras. Air mata pun terjatuh tanpa alasan, seakan hanya simbolis keberanian baru yang menyeruak masuk ke dalam mimpi. Semuanya pun kutinggalkan. Tanpa tersisa.
Deritan aspalpun kian mengikuti kemana arah membawaku. Setiap langkahnya seakan memiliki efek magis terhadap kakiku. Langkah keduaku lebih tegar daripada langkah pertamaku. Langkah ketigaku lebih lantang daripada langkah keduaku. Sesekali aku pun mengerjap dan melihat sekitar, seakan masih tak percaya tentang apa yang baru kuputuskan, seakan aku masih bermimpi tentang perjalananku belasan jam untuk sampai kesini.
London, hampir tak ada bedanya dengan Jakarta. Sesekali aku harus terhenti karena terlalu banyak orang berlalu lalang. Seketika aku pun berpura-pura tuli akan riuh kemacetan di sepanjang broadway. Semuanya berjalan begitu saja, tanpa kurencanakan. Baru beberapa jam yang lalu aku berhenti, atau mungkin lebih tepatnya terhenti, dan memutuskan untuk memulai segala sesuatu tanpa kurencanakan.
Kubiarkan saja angin menyeretku terbang, kubiarkan saja perasaan ini kosong tanpa kendali. Untuk kali ini saja, kubiarkan diriku meremas mimpi tanpa menyapu remahannya. Langkahku pun terhenti di salah satu flat yang kuingat betul dari kemarin. Knop pintu pun terputar, tanpa kesulitan seakan sudah menanti kehadiranku. Stephanie dan Blaire mungkin masih diluar. Mereka tampaknya juga sudah merapihkan kamarku.
Kuletakkan begitu saja koper dan tasku, lalu sesegera mungkin melompat ke kasur. Mungkin aku harus membersihkan diri secepat mungkin kalau tak mau mati kelaparan. Tak satupun makanan mampu masuk, bahkan ujung lidahku seakan terlalu kelu untuk mengecap asinnya garam. Mungkin berkeliling sambil mencari makanan diluar mampu membangun hari pertamaku disini. Kulirik arlojiku sembari melihat ke arah jendela. Jam 7 malam, masih terlalu sore di kota Ratu Elizabeth ini. Mungkin.
Minggu, 29 Januari 2017
Jumat, 06 Januari 2017
Myth of Sorrow
Januari sederhana..
Tepat di bulan ini, tepat setahun setelah itu. Aku kembali merasakan sakit, kembali merasa menari di tumpukan jarum yang begitu lebatnya, kembali merasa butuh tenaga baru untuk menangis. Salah satu kalimatmu membuat air mata ini terjatuh. Adilkah jika lidah yang tak bertulang mampu meremukkan hati ini?
Aku memanglah bukan pujangga, aku memanglah bukan penyair, bahkan aku bukanlah seorang penulis. Akan tetapi, hanya inilah caraku, caraku menumpahkan semua air mata tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Aku tak bisa merangkai kata, aku tak bisa menerbangkan impian. Aku disini, menangis kembali, menangisi orang yang berbeda.
Tuhan tampaknya tak jenuh menghadiahiku ujian. Harus kuakui, aku kembali menangis didalam jeritan. Aku tak mengerti rasa sakit yang kutangisi ini. Sejauh inikah karma yang kudapatkan? Aku lelah menangis Tuhan...
Aku bukanlah seorang pianis yang bisa menuangkan perasaannya lewat balokan nada. Aku tak mempunyai kekuatan sebesar itu untuk menuliskan kata hatiku. Aku bersabar, bersabar ditengah keegoisanmu. Aku mencintaimu, sungguh...
Aku tak dapat bersujud dikakimu agar kau tak meninggalkanku. Aku hanya bisa menangis. Aku sadar aku hanyalah gadis biasa yang rapuh hatinya. Aku diam, aku berusaha menekan egoku, tetapi mengapa engkau malah berdiri dan berkata kaulah pemenangnya?
Tuhan, jangan jatuhkan hatiku kepada orang yang tak bisa menjaganya, bahkan hanya sekedar menangkapnya. Aku selalu berusaha mengerti situasimu, aku selalu berusaha mengerti kesibukanmu. Kalut terus menerus menutupi mataku. Aku hanya membohongi diriku, membohongi kalau semua keadaan baik-baik saja. Aku menipu diriku yang bodoh akan perubahan sikapmu.
Aku tengah menjadi boneka hidup untuk kedua kalinya. Kuakui, aku terjatuh di lubang yang sama, meraungkan hal yang sama, menjerit di tempat yang sama. Mungkin aku harus bersiap karena aku tahu cara ini tak menghentikanmu untuk meninggalkanku....
Aku sadar aku hanyalah perempuan biasa, perempuan ambisius biasa, yang hanya merangkak mengejar impiannya. Aku terlalu lambat untuk mengikuti derap langkahmu. Aku terlalu bodoh untuk mengejar sinar matamu, dan aku yakin ribuan perempuan tengah menunggumu diluar sana.
Kau, alasanku menangis semalaman. Kau jugalah alasanku melupakan bagaimana caranya menangis. Mengapa sekarang kau memaksaku mengingat caraku menangis? Ini adil? Atau hanya aku saja yang terlalu mengharapkanmu?
Aku tak mempunyai kelebihan apapun, dan yang kutahu, aku terlalu 'biasa' untuk porsi se-istimewamu.........
Tepat di bulan ini, tepat setahun setelah itu. Aku kembali merasakan sakit, kembali merasa menari di tumpukan jarum yang begitu lebatnya, kembali merasa butuh tenaga baru untuk menangis. Salah satu kalimatmu membuat air mata ini terjatuh. Adilkah jika lidah yang tak bertulang mampu meremukkan hati ini?
Aku memanglah bukan pujangga, aku memanglah bukan penyair, bahkan aku bukanlah seorang penulis. Akan tetapi, hanya inilah caraku, caraku menumpahkan semua air mata tanpa ada seorangpun yang mengetahuinya. Aku tak bisa merangkai kata, aku tak bisa menerbangkan impian. Aku disini, menangis kembali, menangisi orang yang berbeda.
Tuhan tampaknya tak jenuh menghadiahiku ujian. Harus kuakui, aku kembali menangis didalam jeritan. Aku tak mengerti rasa sakit yang kutangisi ini. Sejauh inikah karma yang kudapatkan? Aku lelah menangis Tuhan...
Aku bukanlah seorang pianis yang bisa menuangkan perasaannya lewat balokan nada. Aku tak mempunyai kekuatan sebesar itu untuk menuliskan kata hatiku. Aku bersabar, bersabar ditengah keegoisanmu. Aku mencintaimu, sungguh...
Aku tak dapat bersujud dikakimu agar kau tak meninggalkanku. Aku hanya bisa menangis. Aku sadar aku hanyalah gadis biasa yang rapuh hatinya. Aku diam, aku berusaha menekan egoku, tetapi mengapa engkau malah berdiri dan berkata kaulah pemenangnya?
Tuhan, jangan jatuhkan hatiku kepada orang yang tak bisa menjaganya, bahkan hanya sekedar menangkapnya. Aku selalu berusaha mengerti situasimu, aku selalu berusaha mengerti kesibukanmu. Kalut terus menerus menutupi mataku. Aku hanya membohongi diriku, membohongi kalau semua keadaan baik-baik saja. Aku menipu diriku yang bodoh akan perubahan sikapmu.
Aku tengah menjadi boneka hidup untuk kedua kalinya. Kuakui, aku terjatuh di lubang yang sama, meraungkan hal yang sama, menjerit di tempat yang sama. Mungkin aku harus bersiap karena aku tahu cara ini tak menghentikanmu untuk meninggalkanku....
Aku sadar aku hanyalah perempuan biasa, perempuan ambisius biasa, yang hanya merangkak mengejar impiannya. Aku terlalu lambat untuk mengikuti derap langkahmu. Aku terlalu bodoh untuk mengejar sinar matamu, dan aku yakin ribuan perempuan tengah menunggumu diluar sana.
Kau, alasanku menangis semalaman. Kau jugalah alasanku melupakan bagaimana caranya menangis. Mengapa sekarang kau memaksaku mengingat caraku menangis? Ini adil? Atau hanya aku saja yang terlalu mengharapkanmu?
Aku tak mempunyai kelebihan apapun, dan yang kutahu, aku terlalu 'biasa' untuk porsi se-istimewamu.........
Langganan:
Postingan (Atom)