NP: Ava - Serge Dusault
Saying Goodbye to Home - Tom Merrall
Halo, baru saja kemarin ya kita saling berbicara, sekarang aku sudah datang lagi. Aku sepertinya hendak mengembalikan rutinitas lama lagi, karena ternyata salah saru cara menyembuhkan lukaku adalah dengan menulis.
Aku menulis ini tepat di persimpangan Jakarta - Bandung. Ya, aku kembali ke Bandung, tetapi tidak untuk mengagendakan liburan seperti dahulu. Di tahun ini, ini sudah kedua kalinya kami mengunjungi Kota 1000 kenangan ini. Iya kami, aku, dan mas.
Sahabat pena lamaku pasti sudah tau seberapa berartinya Bandung bagi kami. Rasanya masih hangat diingatan bagaimana rasanya jantungku berdebar dikala jemariku disusupi oleh telapak tangannya yang mengepal sempurna, sampai-sampai kedua tangan kami berpeluh. Keduanya tak bisa mengontrol degup hati, tapi semuanya berusaha melakoni perannya dengan kesempurnaannya. Klise memang, cerita cinta bait pertama.
Aku, berangkat tidak seperti kemarin. Kami menaiki kereta jam malam, kira-kira akan sampai dipertengahan malam nanti. Awalnya aku tak mau menulis, tetapi ada sesuatu hal yang memaksaku mengeluarkan isi kepala untuk melampiaskannya. Harapannya, esok akan tetap teringat.
Keretaku melaju, ya lumayan kencang. Bergoyang ke kiri dan ke kanan, seperti tak mau kalah dengan gempa petang tadi. Yang membuatku takjub, adalah, betapa menarik pandangannya kereta yang melaju dibawah rel yang berkelok. Aku bisa melihat gerbong yang berada di depanku, dengan lampu yang memancar disetiap kotak jendelanya. Luar biasa, sayang tak sempat kutangkap kamera.
Mas, sedang tertidur, setelah letih bermain game onlinenya. Sementara aku, bersandar di kereta, memasang airpods dengan mode noise cancellation. Badan mas, bergerak ke kiri dan ke kanan, mengikuti kemana kereta bergerak. Matanya terkatup rapat, peluhnya sesekali menetes, sambil termangut-mangut tak sadarkan diri. Sekarang malah dia tengah bersandar di bahuku, haha.
Kurang dari setengah jam lagi kami akan sampai, ingin rasanya bergegas tidur sampai-sampai tak peduli sekitar. Perut telah terisi, yang mana aku merasa berat badanku sedikit diluar kendali. Aku hari ini membeli timbangan, aku harus berdiet!
Aku juga sudah jarang olahraga, padahal dahulu senang sekali. Sepertinya banyak hal yang memang harus dibenahi, tapi tak mengapa, satu persatu.
Kehidupan di kantor hari ini juga kurang menyenangkan, sampai-sampai aku tak berselera untuk mengulang mengingatnya agar sekedar tercantum sebait di tulisanku. Payah! Aku masih kesal!
Sekarang, pundakku mulai sakit, sementara mas masih terlelap. Untungnya, sedetik yang lalu ia bertukar posisi. Melihat lagi wajahnya, mengibas poninya agar tak membuatnya gerah, sudah seperti anakku sendiri. Anakku yang sekarang tengah menemukan apa arti dunia untuknya.
Aku biarkan dia berjalan, setapak demi setapak, tanpa alas kaki. Ah, seperti ini rasanya! Terkurung di lemari kayu pun tak enak rasanya. Jadi, kuberikan dia dunia, kosong, yang kelak semoga dia bisa isi, tanpa aku, setidaknya untuk sementara. Dunia, miliknya, yang mengorbit kepadanya. Dunianya, yang tak bulat, namun tak lonjong. Dunianya, dunia barunya…